Hubungan Antara Laksamana Cheng Ho, Kelenteng Sam Po Kong Dan Nama “Semarang”



Sejarah bukanlah sebatas “ingatan” (memory, geheugen), tetapi rekoleksi (he-reinnering). Ingatan (memory) sifatnya komprehensif, sedangkan rekoleksi merupakan pengunjung yang cerdas. Mengenal apa yang dilihat dan diperhatikannya. Tugas sejarahwan adalah untuk merawat dan menjaganya.

Oleh sebab itu, penelitian sejarah bukanlah usaha mencari fakta “benar-salah” ataupun mengkorespondensikan suatu teori dengan tebakan lain. Penelitian sejarah adalah penelitian melelahkan yang seksama dan tidak tergesa-gesa. Terutama dalam menyikapi sejarah itu sendiri dan masa lalu masalahnya. Selama ini sejarah harus dilakukan untuk menandakan keduanya, baik sejarah maupun isinya. Sejarah umat manusia berkembang dalam suatu tatanan masyarakat. Karena, masyarakat merupakan suatu sistem sosial. Yang unsur-unsurnya saling mempengaruhi satu sama lain. Hingga berakibat pada berubahnya kondisi sistem secara keseluruhan. Untuk itulah, masyarakat dan kebudayaan merupakan kesatuan yang sangat sulit dibedakan. Di dalamnya tersimpul sejumlah pengetahuan yang terpadu dengan kepercayaan dan nilai. Dengan kata lain, pada kebudayaan tersimpul suatu simbol maknawi (symbolic system of meaning) yang  tidak lekang dibaca secara visual, dicerap secara batiniah. Kebudayaan, sebagai seperangkat sistem pengetahuan dan keyakinan, terwujud menjadi pola-pola tindakan (actual patterns) dan ditujukan ke pelbagai kehidupan sosial, sedalam-dalamnya, seluas-luasnya dan kapan saja. Baik kegiatan ekonomi, sosial, ritual keagamaan dan berkesenian. Karenanya, kebudayaan juga dinamakan sebagai desain (blueprint) menyeluruh dari kehidupan.

Kebudayaan merupakan cirri khas manusia yang tidak dimiliki oleh mahluk lain. Bahkan yang bersifat transenden sekaligus. Hanya manusialah yang dengan dirinya dapat mewujudkan eksistensinya. Dengan akalnya guna memenuhi segala keinginan baik yang serupa nilai dan peradaban.[1] Peranan kebudayaan bagi umat manusia sangatlah besar. Bermacam-macam yang harus dihadapi manusia. Seperti, kekuatan alam di mana ia tinggal, maupun kekuatan-kekuatan lain dalam masyarakat itu sendiri yang tidak selalu baik baginya. Kecuali daripada itu, manusia memerlukan kepuasan baik di bidang spiritual maupun di bidang material.[2]

Bertolak daripada pengertian di atas, China pernah terlibat langsung pada proses sejarah kebudayaan bangsa Indonesia baik dari sisi spiritual maupun sisi materiil (arsitektur, pakaian, makanan, dan lain-lain), yang dapat kita saksikan lewat apa yang lazim disebut oleh sejarahwan, yaitu Sino-Javanese Muslim Culture pada kurun abad ke-15 dan ke-16. Peranan bangsa China dalam proses penyebaran  Islam di Indonesia merupakan fenomena dan fakta yang menarik untuk diteliti lebih mendetail lagi. Karena sampai saat ini belum ada kata sepakat di kalangan para sejarahwan tentang asal-usul Islam di Nusantara ini. Ada yang mengatakan Islam Indonesia dibawa oleh orang-orang dari Gujarat (India), ada yang berpendapat dibawa oleh orang-orang China Yunnan/Champa, bahkan ada pula yang mempunyai statement bahwa Islam masuk ke Indonesia langsung dari Mekkah.[3] Menikmati pengalaman ini tentunya tidak bias terlepas dari ekspedisi Cheng Ho dan intensitas peristiwa sejarah akulturasi China di tanah Jawa dapat selalu dibaca kembali dengan menilik ekspresi simbolisme keberagaman di Kelenteng Sam Po Kong.

Terlepas dari “khilafiyah” itu, China memang pernah berperan besar dalam perkembangan Islam di Indonesia. Fakta ini dibuktikan dari beberapa peninggalan-peninggalan China Muslim di Indonesia. Misalnya, di Ancol Jakarta, dan Gedung Batu Semarang. Dan yang paling monumental hingga sampai sekarang adalah Masjid Agung Demak. Berdasarkan beberapa catatan sejarah, dapat dipastikan pula beberapa Sultan dan Sunan yang mempunyai andil sangat besar dalam penyiaran Islam di Jawa, ternyata adalah keturunan China. Misalnya, Raden Fatah yang mempunyai nama China Jin Bun sebagai Raja Demak Pertama, Sunan Ampel, Sunan Gunung Djati, dan lain sebagainya.

Selanjutnya, peristiwa politik bersejarah dan yang paling fenomenal ialah saat terjadinya ekspedisi Cheng Ho di masa pemerintahan Zhu Di(Yung Lo) dari Dinasti Ming. Yang melibatkan ribuan orang China. Sebagian besar awak kapal beragama Islam (Huihui). Beberapa petinggi ekspedisi, selain tokoh legendaris Cheng Ho, yakni Ma Huan, Hasan, Wang Jing Hong (dikemudian hari terkenal dengan sebutan Kiai Dampoawang), Kung Wu Ping, Fei Hsin, dan lain-lain, juga seorang Muslim yang dikenal taat beragama.

Menurut Parlindungan dan Slamet Mulyana, ekspedisi sejak awal abad ke-15 itu tercatat tiga kali mengunjungi Jawa.  Setiap misi muhibahnya selalu meninggalkan jejak historis yang mengagumkan. Kegiatan penjelajahan samudera yang dipimpin langsung Laksamana Cheng Ho ini tidak sekadar bermuatan politik dan ekonomi belaka, tetapi juga menyimpan “agenda tersebunyi” (hidden agenda) berupa Islamisasi. Hal ini terbukti dengan penempatan para konsul dan duta keliling Muslim China di setiap daerah yang dikunjunginya. Kemungkinan besar sebagian China Islam yang turut serta dalam rombongan Cheng Ho ini enggan pulang kembali ke negerinya. Baik karena alasan pengembangan bisnis di daerah baru yang dinilai lebih menjanjikan atau faktor kenyamanan politik, maupun alasan dorongan keagamaan untuk menyebarkan syi’ar Islam di “negeri non Islam”.

Jejak-jejak historis yang ditaburkan Cheng Ho ini begitu terasa mengurat dalam benak kehidupan masyarakat Jawa. Tidak hanya muncul lewat tradisi lisan melalui tokoh mitologi Kyai Dampo Awang. Tetapi juga beberapa peninggalan kesejarahan seperti bangunan mercusuar di Cirebon maupun berbagai kelenteng kuno yang dikaitkan dengan sang legendaris Laksamana Cheng Ho. Salah satunya adalah Kelenteng Sam Po Kong di Gedung Batu Semarang.

Kelenteng ini keberadaannya sangatlah monumental sekaligus fenomenal. Sangat menarik untuk dijadikan objek penelitian dari berbagai segi. Utamanya dari segi bangunan kelenteng tersebut. Pengaruh China yang cukup kuat dan menimbulkan dugaan bahwa pada bentangan abad ke-15/16 telah terjalin apa yang disebut Sino-Javanese Muslim Culture di mana fungsi awal bangunan tersebut adalah sebagai masjid (tempat sholat Cheng Ho beserta rombongan), hal ini dibuktikan dengan adanya Bedug dan tulisan pada dindingnya dalam bahasa China yang artinya “Bacalah Al-Qur’an”).[4]

Kemudian beralih fungsi menjadi tempat peribadatan umat Khong Hu Chu (setidaknya, itulah fakta yang terjadi sekarang ) merupakan fenomena yang harus kita terima. Bahkan yang sekarang terjadi: banyak sekali umat dari bermacam-macam agama “beribadah” di sana. Bisa jadi, disamping fungsi awalnya sebagai Masjid, tidak menutup kemungkinan untuk peribadatan awak kapal Cheng Ho lainnya yang non-Muslim. Karena, pada rombongan ekspedisi tersebut ada yang beragama Tao, Khong Hu Chu, dan Buddha (tiga kepercayaan tertua di China).

Namun demikian, ada kemungkinan ketiga yang muncul. Yaitu hanya  sebagai “tempat singgah” rombongan ekspedisi Laksamana Cheng Ho yang tercatat tujuh kali melakukan pelayaran ke Kepulauan Nusantara. Di Semarang sendiri rombongan Cheng Ho tercatat mengunjungi sebanyak tiga kali. Sehingga banyak kalangan menduga bahwa Kelenteng Sam Po Kong atau Sam Po Tay Djien itu “hanya sekadar” ekspresi kebudayaan China-Jawa-Islam yang terletak di Gedung Batu Simongan Semarang. Terlepas dari perdebatan kemungkinan-kemungkinan di atas, ada fakta menarik yang dapat kita jadikan pelajaran. Yaitu, bahwa antara China-Jawa (yang “lazim” disebut pribumi-non pribumi) pernah hidup rukun dan bergandengan, jauh dari perasaan saling curiga.

Semarang,  sebuah nama untuk menghormati jasa-jasa laksamana Cheng Ho

~Pelabuhan Pragota

Sejarah Semarang berawal kurang lebih pada abad ke-8 M, yaitu daerah pesisir yang bernama Pragota (sekarang menjadi Bergota) dan merupakan bagian dari kerajaan Mataram Kuno. Daerah tersebut pada masa itu merupakan pelabuhan dan di depannya terdapat gugusan pulau-pulau kecil. Akibat pengendapan, yang hingga sekarang masih terus berlangsung, gugusan tersebut sekarang menyatu membentuk daratan. Bagian kota Semarang Bawah yang dikenal sekarang ini dengan demikian dahulu merupakan laut. Pelabuhan tersebut diperkirakan berada di daerah Pasar Bulu sekarang dan memanjang masuk ke Pelabuhan Simongan, tempat armada Laksamana Cheng Ho bersandar pada tahun 1405 M. Di tempat pendaratannya, Laksamana Cheng Ho mendirikan kelenteng dan masjid yang sampai sekarang masih dikunjungi dan disebut Kelenteng Sam Po Kong (Gedung Batu). serta mendirikan/membangun galangan kapal untuk menunjang operasional pelayaran-pelayaran armada barat tiongkok.

~ Tan Mu dalam Kitab Ying Yai Sheng Lang

Dalam catatan Kitab Ying Yai Sheng Lang, Pelabuhan Pragota (Semarang) disebut dengan “Tan Mu”, dimana translate Ying Yai Sheng Lang oleh J.V.G Mills terjadi kesalahan identifikasi tempat, dimana “Tan Mu” diterjemahkan/diidentifikasikan sebagai Demak, dimana pada saat pelayaran Laksaman Cheng Ho , Demak belum ada dan masih berupa pesisir pantai yang berawa-rawa, Demak dibangun/didirikan menjadi sebuah kota/pelabuhan saat Raden Fatah menjadi penguasa/adipati di daerah Glagah wangi pada tahun 1475 M berdasarkan Catatan Kronik Sampokong.

~ Catatan Kronik Sampokong

Pada tahun 1477 M, Raden Fatah/Jin Bun dengan pasukan demaknya berhasil menguasai/merebut Pelabuhan Pragota (Semarang) dari kelompok China non muslim yang telah murtad (yang dipimpin oleh Gan Si Cang) dan mengamankan Klenteng Sampokong serta mengampuni kelompok China non yang telah murtad tersebut termasuk Gan Si Cang, selain itu pasukan Demak juga membubarkan dan membumi hanguskan perkampungan Islam Syiah didaerah Candi (selatan semarang) yang dipimpin oleh Syech Siti Jenar dimana tidak mentaati / melanggar aturan (tetapi pasukan demak tidak membunuh org2 Islam Syiah, hanya membubarkan dan membekukannya saja) dan kemudian membangun kembali Pragota (Semarang) sebagai pusat galangan kapal terbesar di jawa

Pada tahun 1477 M, Raden Kusen(Tan Kin San) diangkat menjadi Adipati di Pragota dan mengganti nama Pragota dengan nama “Samarang/Semarang” yang berasal dari kata Samarang / Samaren{Sam=Tiga, Ma=Marga Ma(Ma Cheng Ho, Ma Hong Fu & Ma Huan), Rang/Ren=orang yang dihormati) yang berarti menghormati 3 orang bermarga Ma atau tiga orang bermarga Ma yang sangat dihormati, jadi penggantian nama “Pragota” menjadi “Samarang / Semarang” merupakan penghargaan/penghormatan atas jasa-jasa Laksamana Cheng Ho, Jendral Ma Hong Fu dan Jendral Ma Huan atas penyebaran/dakwah agama Islam di tanah jawa dan mereka pernah Sholat di masjid Sampokon (dikomplek klenteng sampokong sekarang). Adapun rumor bahwa kata “Semarang” berasal dari “Asem arang/Aseme arang-arang” (Pohon Asem yang jarang-jarang) merupakan plesetan kata saja tanpa ada bukti pendukung/manuskrip sejarahnya.

Tahun 1478 M, Raden Kusen(Tan Kin San) menunjuk Gan Si Cang menjadi Kapiten China non muslim di Semarang dan membangun kembali penggergajian kayu jati dan Galangan kapal yang sudah 3 generasi sebelumnya didirikan oleh Laksamana Cheng Ho

Pada tahun 1479, Bong Tak Ang(Sunan Bonang) dan Maulana Ainul Yaqin(Sunan Giri) melihat-lihat galangan kapal dan klenteng sampokong di Semarang, keduanya tidak bisa bahasa tionghoa, selama di Semarang, Bong Tak Ang(Sunan Bonang) banyak berdiskusi dengan pamannya yaitu Gan Si Cang mengenai agama Islam, dan mengajak kembali pamannya (Gan Si Cang) masuk menjadi Muslim kembali, yang pada akhirnya Gan Si Cang dikenal dengan sebutan “Sunan Kali Jaga” dimana beliau merupakan kapiten cina yang selalu menjaga galangan kapal di pinggir sungai/kali garang Semarang.

Setelah Raden Kusen(Tan Kin San) wafat, pemerintahan Semarang dipegang oleh Kyai Ageng Pandan Arang I. Sepeninggalnya, pimpinan daerah dipegang oleh putranya yang bergelar Pandan Arang II (kelak disebut sebagai Sunan Bayat atau Sunan Pandanaran II atau Sunan Pandanaran Bayat atau Ki Ageng Pandanaran atau Sunan Pandanaran saja). Di bawah pimpinan Raden Mukming(sunan prawoto) pada masa Pandan Arang II inilah, daerah Semarang semakin menunjukkan pertumbuhannya yang meningkat dan menjadikan Semarang sebagai pelabuhan Besar dengan galangan kapal terbesar di Jawa.

Pada tahun 1546, Pasukan Jipang yang dipimpin oleh Arya Penangsang menghancurkan Semarang, dan banyak orang-orang tionghoa baik muslim maupun non muslim terbunuh termasuk Raden Mukming(Sunan Prawoto) dan anaknya, dan Semarang mengalami kemunduran total.

~ Era VOC

Kemudian pada tahun 1678 Amangkurat II dari Mataram, berjanji kepada VOC untuk memberikan Semarang sebagai pembayaran hutangnya, dia mengklaim daerah Priangan dan pajak dari pelabuhan pesisir sampai hutangnya lunas. Pada tahun 1705 Susuhunan Pakubuwono I menyerahkan Semarang kepada VOC sebagai bagian dari perjanjiannya karena telah dibantu untuk merebut Kartasura. Sejak saat itu Semarang resmi menjadi kota milik VOC dan kemudian Pemerintah Hindia Belanda.

Pada tahun 1906 dengan Stanblat Nomor 120 tahun 1906 dibentuklah Pemerintah Gemeente. Pemerintah kota besar ini dikepalai oleh seorang Burgemeester (Wali kota). Sistem Pemerintahan ini dipegang oleh orang-orang Belanda berakhir pada tahun 1942 dengan datangya pemerintahan pendudukan Jepang.

Pada masa Jepang terbentuklah pemerintah daerah Semarang yang dikepalai Militer (Shico) dari Jepang. Didampingi oleh dua orang wakil (Fuku Shico) yang masing-masing dari Jepang dan seorang bangsa Indonesia. Tidak lama sesudah kemerdekaan, yaitu tanggal 15 sampai 20 Oktober 1945 terjadilah peristiwa kepahlawanan pemuda-pemuda Semarang yang bertempur melawan balatentara Jepang yang bersikeras tidak bersedia menyerahkan diri kepada Pasukan Republik. Perjuangan ini dikenal dengan nama Pertempuran Lima Hari.

Tahun 1946 Inggris atas nama Sekutu menyerahkan kota Semarang kepada pihak Belanda. Ini terjadi pada tanggal l6 Mei 1946. Tanggal 3 Juni 1946 dengan tipu muslihatnya, pihak Belanda menangkap Mr. Imam Sudjahri, wali kota Semarang sebelum proklamasi kemerdekaan. Selama masa pendudukan Belanda tidak ada pemerintahan daerah kota Semarang. Namun para pejuang di bidang pemerintahan tetap menjalankan pemerintahan di daerah pedalaman atau daerah pengungsian di luar kota sampai dengan bulan Desember 1948. daerah pengungsian berpindah-pindah mulai dari kota Purwodadi, Gubug, Kedungjati, Salatiga, dan akhirnya di Yogyakarta. Pimpinan pemerintahan berturut-turut dipegang oleh R Patah, R.Prawotosudibyo dan Mr Ichsan. Pemerintahan pendudukan Belanda yang dikenal dengan Recomba berusaha membentuk kembali pemerintahan Gemeente seperti pada masa kolonial dulu di bawah pimpinan R Slamet Tirtosubroto. Hal itu tidak berhasil, karena dalam masa pemulihan kedaulatan harus menyerahkan kepada Komandan KMKB Semarang pada bulan Februari 1950. tanggal I April 1950 Mayor Suhardi, Komandan KMKB. menyerahkan kepemimpinan pemerintah daerah Semarang kepada Mr Koesoedibyono, seorang pegawai tinggi Kementerian Dalam Negeri di Yogyakarta. Ia menyusun kembali aparat pemerintahan guna memperlancar jalannya pemerintahan.

~ Daftar penguasa Semarang

Di bawah Kerajaan Demak
• Tan Kin San/Raden Kusen (1478-1529)[3]
• Ki Ageng Pandan Arang(Sunan Pandan Arang I)
• Sunan Bayat (Sunan Pandan Arang II)

Di bawah Kesultanan Pajang dan Kesultanan Mataram
• Pangeran Kanoman atau Pandan Arang III (1553-1586)
• Mas R.Tumenggung Tambi (1657-1659)
• Mas Tumenggung Wongsorejo (1659 - 1666)
• Mas Tumenggung Prawiroprojo (1666-1670)
• Mas Tumenggung Alap-alap (1670-1674)
• Kyai Mertonoyo, Kyai Tumenggung Yudonegoro atau Kyai Adipati Suromenggolo (1674 -1701)

Di bawah VOC
• Raden Martoyudo atau Raden Sumoningrat (1743-1751)
• Marmowijoyo atau Sumowijoyo atau Sumonegoro atau Surohadimenggolo (1751-1773)
• Surohadimenggolo IV (1773-?)
• Adipati Surohadimenggolo V atau kanjeng Terboyo (?)

Pemerintahan Hindia Belanda
• Raden Tumenggung Surohadiningrat (?-1841)
• Putro Surohadimenggolo (1841-1855)
• Mas Ngabehi Reksonegoro (1855-1860)
• RTP Suryokusurno (1860-1887)
• RTP Reksodirjo (1887-1891)
• RMTA Purbaningrat (1891-?)

Pemerintahan kemudian dibagi 2 : Kota Praja dan Kabupaten. Penguasa pribumi kemudian menjadi Bupati Semarang:
• Raden Cokrodipuro (?-1927)
• RM Soebiyono (1897-1927)
• RM Amin Suyitno (1927-1942)
• RMAA Sukarman Mertohadinegoro (1942-1945)

Sementara penguasa Belanda menjadi Wali Kota Semarang:
• D. de Jongh (1916-1927)
• A. Bagchus (1928-1935)
• H.E. Boissevain (1936-1942)

Pemerintahan Republik Indonesia
• R. Soediyono Taruna Kusumo (1945-1945), hanya berlangsung satu bulan
• M. Soemardjito Priyohadisubroto (tahun 1946)

Pemerintahan Republik Indonesia Serikat
• RM. Condronegoro hingga tahun 1949

Setelah pengakuan kedaulatan
• M. Soemardjito Priyohadisubroto (1946-1952)
• R. Oetoyo Koesoemo (1952-1956).

Sejak tahun 1945 para wali kota yang memimpin kota besar Semarang yang kemudian menjadi Kota Praja dan akhirnya menjadi Kota Semarang adalah sebagai berikut:
• Mr. Moch.lchsan
• Mr. Koesoebiyono Tjondrowibowo (1949–1 Juli 1951)
• RM. Hadisoebeno Sosrowerdoyo (1 Juli 1951–1 Januari 1958)
• Mr. Abdulmadjid Djojoadiningrat (7 Januari 1958–1 Januari 1960)
• RM Soebagyono Tjondrokoesoemo (1 Januari 1961–26 April 1964)
• Mr. Wuryanto (25 April 1964–1 September 1966)
• Letkol. Soeparno (1 September 1966–6 Maret 1967)
• Letkol. R.Warsito Soegiarto (6 Maret 1967–2 Januari 1973)
• Kolonel Hadijanto (2 Januari 1973–15 Januari 1980)
• Kol. H. Iman Soeparto Tjakrajoeda SH (15 Januari 1980–19 Januari 1990)
• Kolonel H. Soetrisno Suharto (19 Januari 1990–19 Januari 2000)
• H. Sukawi Sutarip SH. (19 Januari 2000–2010)
• Drs. H. Soemarmo HS, MSi. (2010–2013)
• Hendrar Prihadi, SE, MM. (2013-sekarang)

Kotamadya Semarang secara definitif ditetapkan berdasarkan UU Nomor 13 tahun 1950 tentang pembentukan kabupaten-kabupaten dalam lingkungan Provinsi Jawa Tengah.

[1] J.W.M. Baker SJ,  Filsafat Kebudayaan Sebagai Pengantar, Kanisius, Yogyakarta, 1992, hlm. 14.
[2] Soejono Soekanto,  Sosiologi Suatu Pengantar, CV. Rajawali, Jakarta, 1982, hlm. 167.
[3] H.J. de. Graff, dkk, China Muslim di Jawa Abad XV dan XVI Antara Historisitas dan Mitos, Tiara Wacana, Yogyakarta, 2004, hlm. 1.
[4] Djawahir Muhammad (ed), Semarang Sepanjang Jalan Kenangan, Pemda Dati II Semarang, Dewan Kesenian Jawa Tengah, Aktor Studio Semarang, 1995, hlm. 145.