Perjanjian Nanking mengakhiri Perang Candu [1839-1842] dan Tiongkok menyerahkan Hong Kong ke Inggris , membuka sejumlah pelabuhan untuk perdagangan tidak terbatas dan berjanji untuk melakukan hubungan luar negri atas dasar kesetaraan.Tiongkok juga sepakat dengan prinsip ekstrateritorialitas dimana orang-orang Barat secara eksklusif tunduk pada yurisdiksi negara mereka sendiri.
Perang Candu antara Tiongkok dengan Inggris adalah konfrontasi utama antara Tiongkok dan Barat yang belum pernah terjadi sebelumnya. Ini bukan saja mengakhiri praktek isolasi Tiongkok dengan peradaban lain tetapi memulai abad penghinaan di Tiongkok , dan mulai melemahnya Dinasti Qing.
Perang Candu I dimulai ketika pedagang Inggris mengabaikan larangan pemerintah Tiongkok terhadap opium.[1] Pada tanggal 30 Maret 1989 , komisaris kekaisaran menyita candu dari gudang Inggris di Guangzhou. Inggris menjawab dengan mengirimkan kapal perang. Dengan cepat kota pesisir seperti Hangzhou , Hong Kong dan Guangzhou mendapat serangan dan Guangzhou jatuh pada bulan Mei 1841 , Xiamen dan Ningbo menyusul gilirannya.
Setelah sempat tertunda oleh wabah penyakit dikalangan pasukan , Inggris kembali memulai upaya dengan mengambil Shanghai dan Zhenjiang. Pasukan Qing tidak dapat mengimbangi keunggulan Inggris dan akhirnya menyerah dan setuju dengan persyaratan keras dari perjanjian Nanking. Tiongkok setuju untuk membayar ganti rugi sebanyak 21 juta USD dan membuka pelabuhan Guangzhou , Xiamen , Fuzhou , Ningbo , Shanghai kepada Inggris baik untuk perdagangan maupun pemukiman. Tiongkok juga memberikan hak extra-territorialitas dimana pemukim berkebangsaan Inggris tidak menjadi subjek dari hukum yang berlaku di Tiongkok. Kedaulatan atas Hong Kong juga diserahkan ke Inggris.
PERJANJIAN NANKING[2] ,
Nanking , 29 Agustus 1842
Perjanjian perdamaian antara Ratu Inggris dan Kaisar Tiongkok[3] untuk mengakhiri kesalahpahaman dan permusuhan yang muncul antara kedua negara , telah menetapkan PERJANJIAN untuk tujuan itu dan utusan untuk itu , yaitu Sir Henry Pottinger[4] , seorang Mayor Jendral dari EIC (East Indian Company)[5] dan Qiying (Keying sebagai perwakilan Qing.
Beberapa intisari artikel-artikel perjanjian adalah perdamaian dan persahabatan antara Ratu Inggris dan Kaisar Tiongkok dan perlindungan untuk warga yang berada dalam dominion masing-masing (Artikel I). Kaisar Tiongkok setuju untuk menginjinkan warga Inggris di berbagai kota seperti di Canton , Amoy , Ningpo , Shanghai . Akan ditunjuk petugas atau inspekstur ditiap kota untuk menjadi jembatan komunikasi antara otoritas Tiongkok dengan pedagang Inggris. (Artikel II). Hong Kong diserahkan ke Inggris (Artikel III) dan Kaisar Tiongkok setuju untuk membayar ganti rugi sebesar 6 juta dollar senilai opium yang dikirimkan ke Canton pada bulan Maret 1839 (Artikel IV) . Kaisar Tiongkok setuju dengan sejumlah ganti rugi sebesar 3 juta dollar (Artikel V) dan 12 juta dollar (Artikel VI). Total 21 juta dollar ini dibayar sesuai penjadwalan yang diatur segera untuk 6 juta dollar , dan 6 juta lagi di tahun 1843 (3 juta dibulan Juni , dan 3 juta di bulan Desember) . Tahap berikutnya 5 juta dollar ditahun 1844 (2.5 juta dollar dibulan Juni dan 2.5 juta lagi di bulan Desember). 4 juta dollar dibayar di tahun 1845 (2 juta dibulan Juni dan 2 juta lagi dibulan Desember) . Tingkat bunga yang diterapkan sebesar 5 persen pertahun. Kaisar Tiongkok setuju untuk pembukaan pelabuhan terhadap perdagangan Inggris berkaitan dengan Artikel II dan peraturan bea impor-ekspor (Artikel X). Setelah pembayaran awal dari Tiongkok diterima oleh Inggris , maka kekuatan Inggris akan ditarik dari berbagai tempat yang dikuasai Inggris sesuai tahapan pembayaran. (Artikel XII). [6]
KONSEKUENSI
Dampak dari perjanjian Nanking ini adalah legalnya candu Inggris di Tiongkok yang merusak moral bangsa dari rakyat jelata sampai kekaisaran yang terkena adiktif candu. Sejak tahun 1836 , sekitar 1820 ton candu masuk ke Tiongkok setiap tahun. Adiktif terhadap candu di Tiongkok meningkat hari demi hari. Di tahun 1836 , diperkirakan ada 12.5 juta pemadat candu. Di tahun 1881 , Sir Robert Hart memperkirakan ada dua juta pemadat candu di Tiongkok atau 0.65% dari total populasi. [7] Tetapi perkiraan mutakhir dari Jonathan Spence menunjukkan bahwa jumlah pemadat yang sebenarnya adalah 10 persen dari populasi di akhir 1880. Diperkirakan 3-5 persen adalah pecandu berat , yang berarti di tahun 1890 jumlah rakyat Tiongkok yang adiktif terhadap candu adalah 15 juta jiwa. Wanita juga menjadi pemadat .[8]
Kekuatan Barat lainpun mulai tergiur untuk mengeksploitasi Tiongkok ,seperti liliput mengerubungi Gulliver.[9] Wibawa pemerintah Qing ambruk dan disusul dengan ketidakpuasan rakyat yang berwujud dalam berbagai pemberontakan yang terus merongrong seperti pemberontakan Taiping.[10] Kelemahan Tiongkok dimasa akhir Qing ini juga memunculkan tantangan dari Jepang yang dibuka paksa oleh Barat dan memulai restorasi. Inggris sendiri semakin besar pengaruhnya menggantikan Dutch VOC yang jatuh hampir bersamaan dengan masa pemerintahan Qianlong yang menandai berakhirnya masa emas Dinasti Qing.
Sebelum meletusnya perang Candu , kebijakan luar negri Qing berasumsi tiga hal . Pertama adalah superioritas Tiongkok dalam perang, kemampuannya untuk membuat pihak luar menjadi “beradab” dan posisi istimewa dalam perdagangan dan pasar yang besar yang membuat pihak asing menerima status tribute. Asumsi ini ternyata sudah ketinggalan jaman . Terbukti Qing keropos dan kalah telak dari Inggris padahal Qing bertarung di kandang sendiri dengan keunggulan jumlah pasukan 10 kali lipat.
Disisi lain , kritik terhadap Inggris pun bermunculan dikalangan Barat . Karl Marx mencela Inggris sebagai “free trade in poison” . Charles King , seorang pedagang Amerika di Guangzhou , mempublikasi penentangannya terhadap kebijakan Inggris sebelum pecahnya perang Candu. King menyebutnya sebagai pemiskinan dari kekaisaran (Tiongkok) dan mengendurnya moralitas. [11] Sebelumnya , Lin Zexu juga menulis surat kepada Ratu Vitoria sebelum meletusnya perang. [12]
REFERENSI
1. Brook & Wakabayashi , 2000 , “Opium Regimes : China , Britain and Japan , 1839-1952) , University of California Press
2. Phillips & Axelrod , 2006 , “Encyclopedia of Historical Treaties and Alliances”
3. The Cambridge History of China , Volume 10 , Late Qing , 1800-1991 , Part I
Catatan:
[1] Opium atau candu sendiri sebelumnya sudah digunakan sebagai bagian dari pengobatan dan konsumsi terbatas sejak masa Tang.
[2] Charles Phillips & Alan Axelrod , p301
[3] masa pemerintahan Daoguang
[4] Pottinger nantinya menjadi gubernur jendral Hong Kong
[5] Di tahun 1783 , kekuatan EIC dalam perdagangan mulai menguat
[6] ibid
[7] Cambridge , p178
[8] ibid
[9] Cover buku “Opium Games” karya Brook & Wakabayashi menggambarkan Tiongkok sebagai Gulliver dengan fisik khas Tionghua yang sedang dikerubungi liliput yang menggambarkan kekuatan Barat.
[10] Dinasti Qing mulai bergejolak lebih awal selepas masa pemerintahan Qianlong dengan munculnya White Lotus (1795-1803)
[11] Brook & Wakabayashi , p2
[12] Lihat : http://web.budaya-tionghoa.net/arsip/489-lin-zixu-letter-of-advice-to-queen-victoria
Sumber: Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua
Perang Candu antara Tiongkok dengan Inggris adalah konfrontasi utama antara Tiongkok dan Barat yang belum pernah terjadi sebelumnya. Ini bukan saja mengakhiri praktek isolasi Tiongkok dengan peradaban lain tetapi memulai abad penghinaan di Tiongkok , dan mulai melemahnya Dinasti Qing.
Perang Candu I dimulai ketika pedagang Inggris mengabaikan larangan pemerintah Tiongkok terhadap opium.[1] Pada tanggal 30 Maret 1989 , komisaris kekaisaran menyita candu dari gudang Inggris di Guangzhou. Inggris menjawab dengan mengirimkan kapal perang. Dengan cepat kota pesisir seperti Hangzhou , Hong Kong dan Guangzhou mendapat serangan dan Guangzhou jatuh pada bulan Mei 1841 , Xiamen dan Ningbo menyusul gilirannya.
Setelah sempat tertunda oleh wabah penyakit dikalangan pasukan , Inggris kembali memulai upaya dengan mengambil Shanghai dan Zhenjiang. Pasukan Qing tidak dapat mengimbangi keunggulan Inggris dan akhirnya menyerah dan setuju dengan persyaratan keras dari perjanjian Nanking. Tiongkok setuju untuk membayar ganti rugi sebanyak 21 juta USD dan membuka pelabuhan Guangzhou , Xiamen , Fuzhou , Ningbo , Shanghai kepada Inggris baik untuk perdagangan maupun pemukiman. Tiongkok juga memberikan hak extra-territorialitas dimana pemukim berkebangsaan Inggris tidak menjadi subjek dari hukum yang berlaku di Tiongkok. Kedaulatan atas Hong Kong juga diserahkan ke Inggris.
PERJANJIAN NANKING[2] ,
Nanking , 29 Agustus 1842
Perjanjian perdamaian antara Ratu Inggris dan Kaisar Tiongkok[3] untuk mengakhiri kesalahpahaman dan permusuhan yang muncul antara kedua negara , telah menetapkan PERJANJIAN untuk tujuan itu dan utusan untuk itu , yaitu Sir Henry Pottinger[4] , seorang Mayor Jendral dari EIC (East Indian Company)[5] dan Qiying (Keying sebagai perwakilan Qing.
Beberapa intisari artikel-artikel perjanjian adalah perdamaian dan persahabatan antara Ratu Inggris dan Kaisar Tiongkok dan perlindungan untuk warga yang berada dalam dominion masing-masing (Artikel I). Kaisar Tiongkok setuju untuk menginjinkan warga Inggris di berbagai kota seperti di Canton , Amoy , Ningpo , Shanghai . Akan ditunjuk petugas atau inspekstur ditiap kota untuk menjadi jembatan komunikasi antara otoritas Tiongkok dengan pedagang Inggris. (Artikel II). Hong Kong diserahkan ke Inggris (Artikel III) dan Kaisar Tiongkok setuju untuk membayar ganti rugi sebesar 6 juta dollar senilai opium yang dikirimkan ke Canton pada bulan Maret 1839 (Artikel IV) . Kaisar Tiongkok setuju dengan sejumlah ganti rugi sebesar 3 juta dollar (Artikel V) dan 12 juta dollar (Artikel VI). Total 21 juta dollar ini dibayar sesuai penjadwalan yang diatur segera untuk 6 juta dollar , dan 6 juta lagi di tahun 1843 (3 juta dibulan Juni , dan 3 juta di bulan Desember) . Tahap berikutnya 5 juta dollar ditahun 1844 (2.5 juta dollar dibulan Juni dan 2.5 juta lagi di bulan Desember). 4 juta dollar dibayar di tahun 1845 (2 juta dibulan Juni dan 2 juta lagi dibulan Desember) . Tingkat bunga yang diterapkan sebesar 5 persen pertahun. Kaisar Tiongkok setuju untuk pembukaan pelabuhan terhadap perdagangan Inggris berkaitan dengan Artikel II dan peraturan bea impor-ekspor (Artikel X). Setelah pembayaran awal dari Tiongkok diterima oleh Inggris , maka kekuatan Inggris akan ditarik dari berbagai tempat yang dikuasai Inggris sesuai tahapan pembayaran. (Artikel XII). [6]
KONSEKUENSI
Dampak dari perjanjian Nanking ini adalah legalnya candu Inggris di Tiongkok yang merusak moral bangsa dari rakyat jelata sampai kekaisaran yang terkena adiktif candu. Sejak tahun 1836 , sekitar 1820 ton candu masuk ke Tiongkok setiap tahun. Adiktif terhadap candu di Tiongkok meningkat hari demi hari. Di tahun 1836 , diperkirakan ada 12.5 juta pemadat candu. Di tahun 1881 , Sir Robert Hart memperkirakan ada dua juta pemadat candu di Tiongkok atau 0.65% dari total populasi. [7] Tetapi perkiraan mutakhir dari Jonathan Spence menunjukkan bahwa jumlah pemadat yang sebenarnya adalah 10 persen dari populasi di akhir 1880. Diperkirakan 3-5 persen adalah pecandu berat , yang berarti di tahun 1890 jumlah rakyat Tiongkok yang adiktif terhadap candu adalah 15 juta jiwa. Wanita juga menjadi pemadat .[8]
Kekuatan Barat lainpun mulai tergiur untuk mengeksploitasi Tiongkok ,seperti liliput mengerubungi Gulliver.[9] Wibawa pemerintah Qing ambruk dan disusul dengan ketidakpuasan rakyat yang berwujud dalam berbagai pemberontakan yang terus merongrong seperti pemberontakan Taiping.[10] Kelemahan Tiongkok dimasa akhir Qing ini juga memunculkan tantangan dari Jepang yang dibuka paksa oleh Barat dan memulai restorasi. Inggris sendiri semakin besar pengaruhnya menggantikan Dutch VOC yang jatuh hampir bersamaan dengan masa pemerintahan Qianlong yang menandai berakhirnya masa emas Dinasti Qing.
Sebelum meletusnya perang Candu , kebijakan luar negri Qing berasumsi tiga hal . Pertama adalah superioritas Tiongkok dalam perang, kemampuannya untuk membuat pihak luar menjadi “beradab” dan posisi istimewa dalam perdagangan dan pasar yang besar yang membuat pihak asing menerima status tribute. Asumsi ini ternyata sudah ketinggalan jaman . Terbukti Qing keropos dan kalah telak dari Inggris padahal Qing bertarung di kandang sendiri dengan keunggulan jumlah pasukan 10 kali lipat.
Disisi lain , kritik terhadap Inggris pun bermunculan dikalangan Barat . Karl Marx mencela Inggris sebagai “free trade in poison” . Charles King , seorang pedagang Amerika di Guangzhou , mempublikasi penentangannya terhadap kebijakan Inggris sebelum pecahnya perang Candu. King menyebutnya sebagai pemiskinan dari kekaisaran (Tiongkok) dan mengendurnya moralitas. [11] Sebelumnya , Lin Zexu juga menulis surat kepada Ratu Vitoria sebelum meletusnya perang. [12]
REFERENSI
1. Brook & Wakabayashi , 2000 , “Opium Regimes : China , Britain and Japan , 1839-1952) , University of California Press
2. Phillips & Axelrod , 2006 , “Encyclopedia of Historical Treaties and Alliances”
3. The Cambridge History of China , Volume 10 , Late Qing , 1800-1991 , Part I
Catatan:
[1] Opium atau candu sendiri sebelumnya sudah digunakan sebagai bagian dari pengobatan dan konsumsi terbatas sejak masa Tang.
[2] Charles Phillips & Alan Axelrod , p301
[3] masa pemerintahan Daoguang
[4] Pottinger nantinya menjadi gubernur jendral Hong Kong
[5] Di tahun 1783 , kekuatan EIC dalam perdagangan mulai menguat
[6] ibid
[7] Cambridge , p178
[8] ibid
[9] Cover buku “Opium Games” karya Brook & Wakabayashi menggambarkan Tiongkok sebagai Gulliver dengan fisik khas Tionghua yang sedang dikerubungi liliput yang menggambarkan kekuatan Barat.
[10] Dinasti Qing mulai bergejolak lebih awal selepas masa pemerintahan Qianlong dengan munculnya White Lotus (1795-1803)
[11] Brook & Wakabayashi , p2
[12] Lihat : http://web.budaya-tionghoa.net/arsip/489-lin-zixu-letter-of-advice-to-queen-victoria
Sumber: Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghua