Semboyan Hui “ Hancurkan Qing! Bela Ming! Jayalah Ming…!”
Catatan Koh Tzu, Masyarakat Hui [Huizu 回族] adalah grup minoritas terbesar kedua yang tersebar di Tiongkok. Mereka juga dikenal sebagai Huihui, Huizo , Panthay , Dungan ,Dungane, Donggan-ren , Tung-an , Mumin , Jiaomen, Zhongyuan-ren, Lao Hui Hui , Lao Khuei Khuei , Huijiaren.[1] Hui adalah grup Muslim paling tua diantara 10 grup Muslim di Tiongkok dan dapat ditemukan disetiap provinsi. Walau demikian populasi mereka terkonsentrasi pada di Linxia Hui Autonomous Prefecture di barat kota Lanzhou , Provinsi Gansu dan Ningxia Hui Autonomous Region [yang sampai tahun 1958 masih menjadi bagian dari provinsi Gansu]. Statistik populasi Hui di Tiongkok berjumlah 7.22 juta [1982] dan bertambah 19.04% menjadi 8.6 juta [1990] selama delapan tahun.[2][3]
Kehidupan masyarakat Hui di kota besar seperti Beijing , Shanghai , Xi’an , Guangzhou, Tianjin berbeda dengan kehidupan masyarakat Hui di daerah Ningxia dan Yunnan. Di ibukota, Beijing sendiri , populasi Hui berjumlah 185.000 dan tersedia 60 masjid . Beberapa dari masjid itu dikunjungi juga oleh ekspatriat yang berada di Beijing. Masjid yang paling dikenal adalah Niujie [Ox Street Mosque] yang menjadi pusat kehidupan islami.[4] Masyarakat Hui di Tiongkok selatan seperti kota Quanzhou dan Guangzhou , tempat dimana awal masuknya agama Islam ke Tiongkok juga memiliki tradisi yang berbeda.[5]
Etnografer dari Russia berargumen bahwa masyarakat Hui adalah etnis Han yang masuk agama Islam karena kontak mereka dengan para pedagang dari Arab , Persia dan Turkic. Di wilayah pecahan Uni Soviet diperkirakan ada 65 ribu orang Hui yang disebut Dungan , Dunganne atau Tungan. Mereka dapat ditemukan di Kazakstan dan Kirghistan .[6] Sementara etnografer Tiongkok berpendapat bahwa masyarakat Hui terdiri dari orang Arab, Persia , Turkish yang berada di Tiongkok pertama kali sebagai tawanan dimasa kekuasaan Mongol dan kemudian berasimilasi terhadap kultural Han dan tetap mempertahankan agamanya. Di masa kekuasaan Mongol , muslim berada dalam sistem pemerintahan , pendidikan dan keuangan. [7]
Kontak antara Tiongkok dengan Timur Tengah dan Asia Tengah sudah terjadi di masa Dinasti Han , beberapa abad sebelum masa Muhammad. Komoditas sutera dari Tiongkok sudah dikenal oleh masyarakat Eropa , Greco-Roman , yang menyebut Tiongkok dengan sebutan Seres [berasal dari kata serica , sericulture , berhubungan dengan sutera] . Komoditas sutera menstimulasi perdagangan global pada masa itu melalui perantara dan jalur sutera. Selain jalur darat tersedia juga jalur laut , Samudra Hindia , dimana kapal India dan Tiongkok lalu lalang termasuk kekawasan dalam perairan Arab. Jadi tidak heran juga begitu Nabi Muhammad muncul dan Islam berkembang dan tidak membutuhkan waktu lama untuk hadir di Tiongkok. Guangzhou, Quanzhou dan Changzhou menjadi salah satu akses masuknya Islam via pedagang Arab atau Persia. Bahasa Persia menjadi lingua franca diantara orang Yahudi , Arab dan Persia pada waktu itu.
Di masa Dinasti Tang [618-906], Muslim dan pengunjung lain dari Timur Tengah yang ada di Tiongkok terdapat Guangzhou, Quanzhou, Hangzhou, Yangzhou dan ibukota Chang’an [Xi’an] menjadi bagian komunitas asing yang disebut fanke. Dalam komunitas ini juga ada keragaman agama seperti Islam , Zoroastrianisme , Ahura-Mazdaisme , Kristen Nestorian , Yahudi , Manichaeisme. [8] Mereka diperkenankan membangun rumah ibadah sesuai keyakinan masing-masing dan membangun lahan pemakaman. Kaum muslim menetap di Tiongkok dan menikah dengan wanita Han. Selama berabad-abad kemudian mereka didesak untuk hidup di enclave terpisah dan dibiarkan untuk menjalankan hukum Islam di kawasan mereka.
Gelombang kedua terjadi pada masa Mongol menguasai Tiongkok. Penguasa Mongol memenuhi kebutuhan sumber daya manusia dari Asia Tengah untuk membantu administrasi pemerintahan di Tiongkok . Penguasa Mongolia mengimpor ribuan guru , akuntan , artisan dan administrator. Dan sebagian besar dari mereka adalah muslim , dan memperbanyak populasi Hui berdasarkan kesamaan agama. Catatan sejarah dinasti Yuan [Yuanshi] mencatat bahwa 3000 artisan Huihui dari Samarkand dan Bukhara juga tempat lain dan memindahkan mereka di Xunmalin [dekat Kalgan/Zhangjiakou] di masa pemerintahan Ogedei.[9] Catatan sejarah resmi Ming mencatat bahwa dalam masa periode Yuan , kaum yang disebut Huihui menyebar ke seluruh Tiongkok . Karena Dinasti Yuan , kaum muslim menyebar keseluruh Tiongkok , dan mereka mempertahankan agamanya tanpa perubahan.[10]
Status sosial pada masa Dinasti Yuan yang tertinggi adalah orang Mongol sebagai penguasa. Semu[11] berada dikelas kedua dan Hanren berada dikelas ketiga dan Nanren berada dikelas keempat. Term Dashi yang umum digunakan untuk menyebut muslim di masa Dinasti Tang menghilang seiring administrasi pemerintahan Mongol dan digantikan oleh istilah Huihui. [12]
Ditahun 1318 , Daneshmand [Muslim] mengalami kelangkaan bahan makanan , dan diperintahkan oleh Kaisar untuk pindah ke provinsi Gansu dan diberikan beras padi sebagai pertolongan awal. Ditahun 1322 , orang Hui di Hexi dibebaskan dari pajak karena kemiskinan mereka. Dikawasan Ningxia , Nasruddin [Nasulading dalam transkripsi Tionghua], anak dari Sayyid Al Ajall Shams al-din Umar memiliki banyak anak dan cucu yang terbagi kedalam beberapa marga seperti marga Na , Su , La , Ding. Pembagian terhadap beberapa marga ini juga berhubungan dengan penamaan tempat seperti Najiahu [marga Na] , Lajiacun [desa marga La] di Xi’an dan Ding menjadi marga paling umum bagi orang Hui dimasa sekarang.
Di Yunnan , kaum Muslim terlibat dalam pertanian dan membuka lahan pertanian baru setelah kawasan itu dikuasai oleh Mongol di tahun 1253. Kota Kunming dan Dali menjadi pusat masyarakat urban masyarakat muslim di kawasan itu. Kaum muslim bersama etnis minoritas lainnya berkerjasama membangun sistem irigasi yang dikenal sebagai Sistem Enam Sungai Irigasi [liuhe guangai xitong][13].
Perpindahan muslim dari Asia Tengah ke Yunnan diasosiasikan dengan aristokrat muslim Sayyid Ajall Shams ad-Din[1210-1279] , meskipun secara ironis dia dipandang berjasa juga untuk sinifikasi masyarakat Yunnan sehingga tergabung dalam tatanan Tiongkok. Pada masa Dinasti Yuan , sejumlah masjid didirikan di Yanjing [Beijing], Helin , Guangzhou , Quanzhou, Hangzhou , Xi’an dan Kunming.
Di masa Dinasti Ming , populasi Hui di Shaanxi dan Gansu berjumlah besar dan meningkat drastis. Dari status pendatang , orang Hui dianggap “orang dalam” dalam masyarakat Tiongkok. Banyak muslim yang merubah nama mereka yang berbau Persia , Turki dan Arabi kedalam nama Tionghua. Keturunan dari Boyanchaer yang tinggal di area pasar domba di Beijing merubah marga mereka menjadi marga Yang dua kali . Satu huruf Yang untuk karakter domba dan menggantinya dengan huruf Yang untuk karakter 楊 ketika pindah ke Shandong.
Hui tersinifikasi secara kultural . Terjadi juga perkawinan antar ras dengan wanita Han. Proses itu terus berlangsung selama berabad-abad sehingga Hui secara fisik dan kultural mirip dengan Han dan mengadopsi sistem marga, bahasa dan tradisi dan tetap mempertahankan agama Islam. Populasi Hui terus bertambah baik via konversi agama maupun pertambahan populasi secara alamiah.
Di awal masa Dinasti Ming , kota Nanjing adalah pusat politik penguasa baru. Ditahun 1423 ada 1200 utusan asing dan pedagang didalam kota. Para diplomat ditempatkan di Biro Penerjemahan Huitongguan di Tongjinmennei. Universitas pemerintahan [guozidian] juga memiliki siswa multi-etnis. Pada masa itu populasi kota Nanjing berjumlah 500 ribu dimana 10-12 persen adalah kaum Muslim dan sekitar 100 ahong.
Di masa Dinasti Qing , Hui terus mengalami konflik dengan penguasa baru , terutama di abad 19 dan juga memunculkan konflik internal baik antara Hui dengan penguasa , dengan mayoritas maupun dengan sesama sekte muslim [menhuan]. Li Zicheng yang menumbangkan Dinasti Ming dan mendirikan dinasti singkat , Dinasti Shun sebelum digantikan oleh Dinasti Qing. Ketika tentara Qing terus melaju untuk mengontrol seluruh Tiongkok menemui perlawanan baik Han maupun Hui saat memasuki Shaanxi. Dan sejumlah Hui juga ikut mendukung Dinasti Ming Selatan.
Ketika penguasa Ming terakhir diselatan kabur ke Burma , sejumlah Hui juga ikut bergabung dan mereka akhirnya tertahan di Tengchong dan Baoshan di barat Yunnan dekat perbatasan Burma dan mengadopsi marga Ming untuk melambangkan kesetiaan mereka dan menolak untuk menyerah kepada penguasa Qing. Di Guangzhou , tiga pejabat senior Hui kehilangan nyawa mereka karena kesetiaan mereka kepada Dinasti Ming. Mereka mendapat penghormatan dengan julukan jiaomen sanzhong [secara literal , tiga muslim loyalist].
Di Shaanxi dan Gansu perlawanan sporadis juga dilakukan oleh orang Hui terhadap Qing. Mi Layin dan Ding Guodong di tahun 1648-1649 menggerakkan pemberontakan terhadap Qing. Walau sempat menyerang dan menewaskan Gubernur , Zhang Wenheng dan menduduki Ganzhou , pasukan Qing berhasil menumpas gerakan pemberontakan ini. Walaupun demikian , masyarakat Hui diuntungkan oleh pembangunan dan perkembangan yang terjadi di masa Qing. Masyarakat Hui terlihat kembali ber-integrasi terhadap kehidupan sosial-ekonomi di Tiongkok , tetapi rasa perbedaan dan antipati terhadap penguasa Qing tetap ada dan bisa muncul kembali seperti yang terjadi pada masa akhir Qing yang suram.
Dimasa Dinasti Qing ini juga ditandai dengan hadirnya aliran Sufi ke Tiongkok. Dua ordo sufi Jahriyya oleh Ma Mingxin dan Khuffiya oleh Ma Laichi. Dan beberapa ahong dengan sekte sebelumnya mendirikan sekte baru seperti Ordo Makam Besar , Ma Zongsheng membentuk persaudaraan Bijiachang , dan Ma Shouzhen mendirikan Mufuti yang menimbulkan konflik baru dengan pendukung Islam Gedimu tradisional.
Sistem menhuan dari ordo Sufi merubah masyarakat muslim petani seperti Hui , Dongxiang , Baoan dan Salar sampai sekarang. Syeikh Sufi , pemimpin menhuan dalam banyak kasus menjadi pemilik tanah yang berkuasa. Pajak religi dibayar oleh kongregrasi , termasuk tianke , zakat maupun donasi sukarela terhadap masjid maupun Ahong. Orang Hui juga tetap melakukan perjalanan haji walaupun terbentur oleh bukan saja masalah financial tetapi kebijakan penguasa yang melarang setiap warga Tiongkok untuk keluar dan kembali ke Tiongkok.
Dinasti Qing berakhir pada tahun 1912 digantikan oleh Republik Tiongkok. Sun Yatsen mendeklarasikan "Teritori Han , Manchu , Mongol , Hui dan Tibetan harus terintegrasi kedalam satu negara”. Sun menekankan bahwa lima etnis terbesar di Tiongkok itu harus saling mencintai satu sama lain dan berkerja sama seperti layaknya saudara. Simbol persatuan tersebut terwujud dalam lima garis dalam bendera Republik Tiongkok dan meyakinkan etnis minoritas untuk kembali dalam term Tiongkok. Dalam pidato di tanggal 19 September 1912 , Sun menyatakan bahwa seluruh grup etnis harus bersatu dan Tiongkok akan bangkit sebagai Great Power.[14]
Pasca Republik Rakyat Tiongkok berdiri , dimasa Revolusi Kebudayaan , gerakan meluas dan tidak terkontrol bukan saja berimbas pada kehidupan muslim Hui tetapi juga melahap siapa saja terhadap sesame kaum komunis sendiri [konflik internal] dan pengikut kepercayaan lain. Naiknya Deng ke puncak kekuasaan membawa perubahan terhadap masyarakat Hui . Ditahun 1980 ada 107 entitas otonomi politik , termasuk lima provinsi , 13 prefektur dan 72 county. Duabelas diantaranya merupakan pemerintahan sendiri bagi masyarakat Hui.
Masyarakat luar sulit membedakan orang Hui dan Han yang memiliki kemiripan fisik dan kultur. Mereka terlihat sama dan hidup berbaur satu sama lain. Walau demikian ada beberapa kharakteristik pada wajah orang Hui , hidung lebih besar , memiliki bulu di tubuh lebih banyak dan mata yang lebih dalam .
Referensi:
1. Olson , James , " An Ethnohistorical Dictionary of China" , Greenwood Press , 1998 , Connecticut
2. Dillon , Michael , "China's Muslim Hui Community , Migration , Settlement , Sects" , 1999, Curzon Press, p127-128
Catatan Koh Tzu, Masyarakat Hui [Huizu 回族] adalah grup minoritas terbesar kedua yang tersebar di Tiongkok. Mereka juga dikenal sebagai Huihui, Huizo , Panthay , Dungan ,Dungane, Donggan-ren , Tung-an , Mumin , Jiaomen, Zhongyuan-ren, Lao Hui Hui , Lao Khuei Khuei , Huijiaren.[1] Hui adalah grup Muslim paling tua diantara 10 grup Muslim di Tiongkok dan dapat ditemukan disetiap provinsi. Walau demikian populasi mereka terkonsentrasi pada di Linxia Hui Autonomous Prefecture di barat kota Lanzhou , Provinsi Gansu dan Ningxia Hui Autonomous Region [yang sampai tahun 1958 masih menjadi bagian dari provinsi Gansu]. Statistik populasi Hui di Tiongkok berjumlah 7.22 juta [1982] dan bertambah 19.04% menjadi 8.6 juta [1990] selama delapan tahun.[2][3]
Kehidupan masyarakat Hui di kota besar seperti Beijing , Shanghai , Xi’an , Guangzhou, Tianjin berbeda dengan kehidupan masyarakat Hui di daerah Ningxia dan Yunnan. Di ibukota, Beijing sendiri , populasi Hui berjumlah 185.000 dan tersedia 60 masjid . Beberapa dari masjid itu dikunjungi juga oleh ekspatriat yang berada di Beijing. Masjid yang paling dikenal adalah Niujie [Ox Street Mosque] yang menjadi pusat kehidupan islami.[4] Masyarakat Hui di Tiongkok selatan seperti kota Quanzhou dan Guangzhou , tempat dimana awal masuknya agama Islam ke Tiongkok juga memiliki tradisi yang berbeda.[5]
Etnografer dari Russia berargumen bahwa masyarakat Hui adalah etnis Han yang masuk agama Islam karena kontak mereka dengan para pedagang dari Arab , Persia dan Turkic. Di wilayah pecahan Uni Soviet diperkirakan ada 65 ribu orang Hui yang disebut Dungan , Dunganne atau Tungan. Mereka dapat ditemukan di Kazakstan dan Kirghistan .[6] Sementara etnografer Tiongkok berpendapat bahwa masyarakat Hui terdiri dari orang Arab, Persia , Turkish yang berada di Tiongkok pertama kali sebagai tawanan dimasa kekuasaan Mongol dan kemudian berasimilasi terhadap kultural Han dan tetap mempertahankan agamanya. Di masa kekuasaan Mongol , muslim berada dalam sistem pemerintahan , pendidikan dan keuangan. [7]
Kontak antara Tiongkok dengan Timur Tengah dan Asia Tengah sudah terjadi di masa Dinasti Han , beberapa abad sebelum masa Muhammad. Komoditas sutera dari Tiongkok sudah dikenal oleh masyarakat Eropa , Greco-Roman , yang menyebut Tiongkok dengan sebutan Seres [berasal dari kata serica , sericulture , berhubungan dengan sutera] . Komoditas sutera menstimulasi perdagangan global pada masa itu melalui perantara dan jalur sutera. Selain jalur darat tersedia juga jalur laut , Samudra Hindia , dimana kapal India dan Tiongkok lalu lalang termasuk kekawasan dalam perairan Arab. Jadi tidak heran juga begitu Nabi Muhammad muncul dan Islam berkembang dan tidak membutuhkan waktu lama untuk hadir di Tiongkok. Guangzhou, Quanzhou dan Changzhou menjadi salah satu akses masuknya Islam via pedagang Arab atau Persia. Bahasa Persia menjadi lingua franca diantara orang Yahudi , Arab dan Persia pada waktu itu.
Di masa Dinasti Tang [618-906], Muslim dan pengunjung lain dari Timur Tengah yang ada di Tiongkok terdapat Guangzhou, Quanzhou, Hangzhou, Yangzhou dan ibukota Chang’an [Xi’an] menjadi bagian komunitas asing yang disebut fanke. Dalam komunitas ini juga ada keragaman agama seperti Islam , Zoroastrianisme , Ahura-Mazdaisme , Kristen Nestorian , Yahudi , Manichaeisme. [8] Mereka diperkenankan membangun rumah ibadah sesuai keyakinan masing-masing dan membangun lahan pemakaman. Kaum muslim menetap di Tiongkok dan menikah dengan wanita Han. Selama berabad-abad kemudian mereka didesak untuk hidup di enclave terpisah dan dibiarkan untuk menjalankan hukum Islam di kawasan mereka.
Gelombang kedua terjadi pada masa Mongol menguasai Tiongkok. Penguasa Mongol memenuhi kebutuhan sumber daya manusia dari Asia Tengah untuk membantu administrasi pemerintahan di Tiongkok . Penguasa Mongolia mengimpor ribuan guru , akuntan , artisan dan administrator. Dan sebagian besar dari mereka adalah muslim , dan memperbanyak populasi Hui berdasarkan kesamaan agama. Catatan sejarah dinasti Yuan [Yuanshi] mencatat bahwa 3000 artisan Huihui dari Samarkand dan Bukhara juga tempat lain dan memindahkan mereka di Xunmalin [dekat Kalgan/Zhangjiakou] di masa pemerintahan Ogedei.[9] Catatan sejarah resmi Ming mencatat bahwa dalam masa periode Yuan , kaum yang disebut Huihui menyebar ke seluruh Tiongkok . Karena Dinasti Yuan , kaum muslim menyebar keseluruh Tiongkok , dan mereka mempertahankan agamanya tanpa perubahan.[10]
Status sosial pada masa Dinasti Yuan yang tertinggi adalah orang Mongol sebagai penguasa. Semu[11] berada dikelas kedua dan Hanren berada dikelas ketiga dan Nanren berada dikelas keempat. Term Dashi yang umum digunakan untuk menyebut muslim di masa Dinasti Tang menghilang seiring administrasi pemerintahan Mongol dan digantikan oleh istilah Huihui. [12]
Ditahun 1318 , Daneshmand [Muslim] mengalami kelangkaan bahan makanan , dan diperintahkan oleh Kaisar untuk pindah ke provinsi Gansu dan diberikan beras padi sebagai pertolongan awal. Ditahun 1322 , orang Hui di Hexi dibebaskan dari pajak karena kemiskinan mereka. Dikawasan Ningxia , Nasruddin [Nasulading dalam transkripsi Tionghua], anak dari Sayyid Al Ajall Shams al-din Umar memiliki banyak anak dan cucu yang terbagi kedalam beberapa marga seperti marga Na , Su , La , Ding. Pembagian terhadap beberapa marga ini juga berhubungan dengan penamaan tempat seperti Najiahu [marga Na] , Lajiacun [desa marga La] di Xi’an dan Ding menjadi marga paling umum bagi orang Hui dimasa sekarang.
Di Yunnan , kaum Muslim terlibat dalam pertanian dan membuka lahan pertanian baru setelah kawasan itu dikuasai oleh Mongol di tahun 1253. Kota Kunming dan Dali menjadi pusat masyarakat urban masyarakat muslim di kawasan itu. Kaum muslim bersama etnis minoritas lainnya berkerjasama membangun sistem irigasi yang dikenal sebagai Sistem Enam Sungai Irigasi [liuhe guangai xitong][13].
Perpindahan muslim dari Asia Tengah ke Yunnan diasosiasikan dengan aristokrat muslim Sayyid Ajall Shams ad-Din[1210-1279] , meskipun secara ironis dia dipandang berjasa juga untuk sinifikasi masyarakat Yunnan sehingga tergabung dalam tatanan Tiongkok. Pada masa Dinasti Yuan , sejumlah masjid didirikan di Yanjing [Beijing], Helin , Guangzhou , Quanzhou, Hangzhou , Xi’an dan Kunming.
Di masa Dinasti Ming , populasi Hui di Shaanxi dan Gansu berjumlah besar dan meningkat drastis. Dari status pendatang , orang Hui dianggap “orang dalam” dalam masyarakat Tiongkok. Banyak muslim yang merubah nama mereka yang berbau Persia , Turki dan Arabi kedalam nama Tionghua. Keturunan dari Boyanchaer yang tinggal di area pasar domba di Beijing merubah marga mereka menjadi marga Yang dua kali . Satu huruf Yang untuk karakter domba dan menggantinya dengan huruf Yang untuk karakter 楊 ketika pindah ke Shandong.
Hui tersinifikasi secara kultural . Terjadi juga perkawinan antar ras dengan wanita Han. Proses itu terus berlangsung selama berabad-abad sehingga Hui secara fisik dan kultural mirip dengan Han dan mengadopsi sistem marga, bahasa dan tradisi dan tetap mempertahankan agama Islam. Populasi Hui terus bertambah baik via konversi agama maupun pertambahan populasi secara alamiah.
Di awal masa Dinasti Ming , kota Nanjing adalah pusat politik penguasa baru. Ditahun 1423 ada 1200 utusan asing dan pedagang didalam kota. Para diplomat ditempatkan di Biro Penerjemahan Huitongguan di Tongjinmennei. Universitas pemerintahan [guozidian] juga memiliki siswa multi-etnis. Pada masa itu populasi kota Nanjing berjumlah 500 ribu dimana 10-12 persen adalah kaum Muslim dan sekitar 100 ahong.
Di masa Dinasti Qing , Hui terus mengalami konflik dengan penguasa baru , terutama di abad 19 dan juga memunculkan konflik internal baik antara Hui dengan penguasa , dengan mayoritas maupun dengan sesama sekte muslim [menhuan]. Li Zicheng yang menumbangkan Dinasti Ming dan mendirikan dinasti singkat , Dinasti Shun sebelum digantikan oleh Dinasti Qing. Ketika tentara Qing terus melaju untuk mengontrol seluruh Tiongkok menemui perlawanan baik Han maupun Hui saat memasuki Shaanxi. Dan sejumlah Hui juga ikut mendukung Dinasti Ming Selatan.
Ketika penguasa Ming terakhir diselatan kabur ke Burma , sejumlah Hui juga ikut bergabung dan mereka akhirnya tertahan di Tengchong dan Baoshan di barat Yunnan dekat perbatasan Burma dan mengadopsi marga Ming untuk melambangkan kesetiaan mereka dan menolak untuk menyerah kepada penguasa Qing. Di Guangzhou , tiga pejabat senior Hui kehilangan nyawa mereka karena kesetiaan mereka kepada Dinasti Ming. Mereka mendapat penghormatan dengan julukan jiaomen sanzhong [secara literal , tiga muslim loyalist].
Di Shaanxi dan Gansu perlawanan sporadis juga dilakukan oleh orang Hui terhadap Qing. Mi Layin dan Ding Guodong di tahun 1648-1649 menggerakkan pemberontakan terhadap Qing. Walau sempat menyerang dan menewaskan Gubernur , Zhang Wenheng dan menduduki Ganzhou , pasukan Qing berhasil menumpas gerakan pemberontakan ini. Walaupun demikian , masyarakat Hui diuntungkan oleh pembangunan dan perkembangan yang terjadi di masa Qing. Masyarakat Hui terlihat kembali ber-integrasi terhadap kehidupan sosial-ekonomi di Tiongkok , tetapi rasa perbedaan dan antipati terhadap penguasa Qing tetap ada dan bisa muncul kembali seperti yang terjadi pada masa akhir Qing yang suram.
Dimasa Dinasti Qing ini juga ditandai dengan hadirnya aliran Sufi ke Tiongkok. Dua ordo sufi Jahriyya oleh Ma Mingxin dan Khuffiya oleh Ma Laichi. Dan beberapa ahong dengan sekte sebelumnya mendirikan sekte baru seperti Ordo Makam Besar , Ma Zongsheng membentuk persaudaraan Bijiachang , dan Ma Shouzhen mendirikan Mufuti yang menimbulkan konflik baru dengan pendukung Islam Gedimu tradisional.
Sistem menhuan dari ordo Sufi merubah masyarakat muslim petani seperti Hui , Dongxiang , Baoan dan Salar sampai sekarang. Syeikh Sufi , pemimpin menhuan dalam banyak kasus menjadi pemilik tanah yang berkuasa. Pajak religi dibayar oleh kongregrasi , termasuk tianke , zakat maupun donasi sukarela terhadap masjid maupun Ahong. Orang Hui juga tetap melakukan perjalanan haji walaupun terbentur oleh bukan saja masalah financial tetapi kebijakan penguasa yang melarang setiap warga Tiongkok untuk keluar dan kembali ke Tiongkok.
Dinasti Qing berakhir pada tahun 1912 digantikan oleh Republik Tiongkok. Sun Yatsen mendeklarasikan "Teritori Han , Manchu , Mongol , Hui dan Tibetan harus terintegrasi kedalam satu negara”. Sun menekankan bahwa lima etnis terbesar di Tiongkok itu harus saling mencintai satu sama lain dan berkerja sama seperti layaknya saudara. Simbol persatuan tersebut terwujud dalam lima garis dalam bendera Republik Tiongkok dan meyakinkan etnis minoritas untuk kembali dalam term Tiongkok. Dalam pidato di tanggal 19 September 1912 , Sun menyatakan bahwa seluruh grup etnis harus bersatu dan Tiongkok akan bangkit sebagai Great Power.[14]
Pasca Republik Rakyat Tiongkok berdiri , dimasa Revolusi Kebudayaan , gerakan meluas dan tidak terkontrol bukan saja berimbas pada kehidupan muslim Hui tetapi juga melahap siapa saja terhadap sesame kaum komunis sendiri [konflik internal] dan pengikut kepercayaan lain. Naiknya Deng ke puncak kekuasaan membawa perubahan terhadap masyarakat Hui . Ditahun 1980 ada 107 entitas otonomi politik , termasuk lima provinsi , 13 prefektur dan 72 county. Duabelas diantaranya merupakan pemerintahan sendiri bagi masyarakat Hui.
Masyarakat luar sulit membedakan orang Hui dan Han yang memiliki kemiripan fisik dan kultur. Mereka terlihat sama dan hidup berbaur satu sama lain. Walau demikian ada beberapa kharakteristik pada wajah orang Hui , hidung lebih besar , memiliki bulu di tubuh lebih banyak dan mata yang lebih dalam .
Referensi:
1. Olson , James , " An Ethnohistorical Dictionary of China" , Greenwood Press , 1998 , Connecticut
2. Dillon , Michael , "China's Muslim Hui Community , Migration , Settlement , Sects" , 1999, Curzon Press, p127-128
Catatan Kaki :
[1] Olsson , p148
[2] Ma Yin ,1989, p95-108
[3] ,“Census Figures from Beijing Review Volume 33 No 52 , 24-30 Desember 1990,
[4] Peng Nian [1990], Liu Dongsheng, Liu Shenglin[1990], Hu Zhenhua[1993]
[5] Ma Jianzhao , “The Role of Islam in the Formation of the Culture and Economy of the Hui Community in Guangzhou
[6] Olsson , p148
[7] ibid
[8] http://web.budaya-tionghoa.net/the-history-of-china/the-history-of-tang-dynasty/23-agama-persia-era-dinasti-tang
[9] Yuanshi 122 , Leslie 1986, p79
[10] Mingshi 332 , Leslie 1986 , p79
[11] Semu dapat diterjemahkan sebagai mata berwarna atau mata biru yang berbeda dengan ciri fisik mata orang Tionghua yang gelap. Semu juga bisa diartikan status spesial.
[12] Huihui juga bisa merujuk kepada orang Yahudi.
[13] HZJS p7
[14] http://web.budaya-tionghoa.net/the-history-of-china/republik-rakyat-tiongkok-people-republic-of-china/98-bendera-lima-warna-wuzu-gonghe-
Referensi: Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghoa.
[1] Olsson , p148
[2] Ma Yin ,1989, p95-108
[3] ,“Census Figures from Beijing Review Volume 33 No 52 , 24-30 Desember 1990,
[4] Peng Nian [1990], Liu Dongsheng, Liu Shenglin[1990], Hu Zhenhua[1993]
[5] Ma Jianzhao , “The Role of Islam in the Formation of the Culture and Economy of the Hui Community in Guangzhou
[6] Olsson , p148
[7] ibid
[8] http://web.budaya-tionghoa.net/the-history-of-china/the-history-of-tang-dynasty/23-agama-persia-era-dinasti-tang
[9] Yuanshi 122 , Leslie 1986, p79
[10] Mingshi 332 , Leslie 1986 , p79
[11] Semu dapat diterjemahkan sebagai mata berwarna atau mata biru yang berbeda dengan ciri fisik mata orang Tionghua yang gelap. Semu juga bisa diartikan status spesial.
[12] Huihui juga bisa merujuk kepada orang Yahudi.
[13] HZJS p7
[14] http://web.budaya-tionghoa.net/the-history-of-china/republik-rakyat-tiongkok-people-republic-of-china/98-bendera-lima-warna-wuzu-gonghe-
Referensi: Budaya-Tionghoa.Net | Mailing-List Budaya Tionghoa.