Carita Sejarah Lasem

---:: CARITA SEJARAH LASEM ::---

Gubahan :
R. Panji Kamzah

Ing tahun Masehi 1858
(tahun jawa 1787)
*********

Katurun / Kajiplak
Dening;
R. Panji Karsono
Ing tahun Masehi 1920
(tahun jawa 1857 sasi pasa)


* Terjemahan:

Pesanku, ingat-ingatlah

Buku CARITA LASEM ini supaya disalin persis, untuk anak cucuku turun-temurun, isi dan kandungannya jangan sampai dirubah. Bukunya kalau sudah sampai usang segeralah di salin dengan yang baru, lantas simpanlah rapat-rapat di tempat yang tersembunyi, jangan boleh dipinjam siapapun, nanti ketahuan antek-antek Belanda. Kalau sampai ketahuan, yang punya catatan ini pasti di hukum Negara.

Sesekali jika menuju sepi dan tak ada lagi yang mesti dikerjakan, jangan lupa cepat-cepatlah membaca buku catatan Carita ini, Carita kakek moyang leluhur kita sendiri di waktu jaman dahulu kala. Agar anak turunmu mengerti dan mengingat pesan leluhur yang selalu mewanti-wanti anak turun semua agar selalu menjaga keluhuran Kabudayan Jawa, leluhur kita. Janganlah kau mabuk, mengunggul-unggulkan kebudayaan orang Maghribi ngatas-angin.

Kelak, jika telah ada yang berubah dari zaman, Priyayi di suruh menanam pohon Mandira di setiap desa, orang-orang Ngarga dan Murya duduk bersila dalam tembang dan kidung Dharmagita, berteduh di bawah payung kembang Tunjung Silugangga; itulah saat penjajah Belanda sudah kacau balau, kocar-kacir. Carita Lasem ini boleh dibaca siapa saja. Yang meinginkan punya boleh menyalin setamatnya, dan boleh juga ditularkan sebebas-bebasnya.

Buku CARITA LASEM ini disalin menjiplak buku yang telah usang dan compang-camping. Buku dari almarhum ayahku yang mengembara; kutulis secara sembunyi dan diam-diam pada tahun jawa 1857 bulan Puasa, di rumah Karangturi Kemendhung.


mBah Karsono
Modine wong Jawa lan Cina
sa Lasem

******************

Bismillah, Niyatingsun nulis Carita Lasem


Awighnam Asthu

Sebelum Pustaka Sabda Badrasanti kusalin dan kutembangkan, akan ku ceritakan riwayat para leluhur Lasem, serta muasal turunnya Wahyu Sabda Badrasanti, juga pasang surutnya lelakon hidup pada jaman dahulu; menurut cerita atau catatan para leluhur di Lasem yang diwariskan untuk anak cucu turun-temurun, yang mestinya merawat dan menjaga pesan dan pelajarannya. Sekarang kutulis menurut keadaan yang sebenarnya, bukan cerita yang telah diselewengkan oleh orang-orang lain yang lancang.


Beginilah ceritanya,

Pada tahun Syaka 1273, adalah Dewi Indu yang menjadi Ratu di Lasem, Beliau adik nakdulur misanane (adik saudara sepupunya) Prabu Hayam Wuruk di Wilwatikta (Majapahit). Dewi Indu seperti Dewi Srikandhi, cantiknya yang teduh seperti bulan purnama. Semua orang di Lasem sampai memberi julukan kepadanya dengan nama: Dewi Purnama Wulan.

Suaminya bernama Pangeran Rajasawardana, yang menjadi Dhang Puhawang (Panglima Perang Angkatan Laut) di Wilwatikta (Majapahit), menguasai kapal-kapal perang di pelabuhan Kaeringan dan Pelabuhan Regol di Lasem; juga merangkap menjadi Adipati (Pemimpin/Bupati) di Mataun. Pangeran Rajasawardana tampan seperti Harjuna, pintar menembang dan merayu, karena itu ia di beri nama lain: Raden Panji Maladresmi. Mereka berdua begitu rukun dan mesra dalam berumah tangga sampai tua, sampai akhir hayatnya, ibaratnya seperti kemesraan Sang Hyang Kamma Rati dan Sang Hyang Kadharpa.

Dewi Indu meninggal sejak tahun Syaka 1304, Pangeran Rajasawardhana pada tahun 1305; abu perabuan mereka berdua dibuatkan candhi di Gunung Argasoka sebelah Utara. Tepat di sebelah timur Candhi Ganapati Pucangan di bukit Ngendhen.

Candhi perabuan Dewi Indu dan Pangeran Rajasawardhana di buat dari batu Gombong, di lapisi dengan batu Chendani; diapit teduh pohon beringin Brahmastana kembar, di sebelah utara dan selatan Candhi. Pucak Candhi terukir arca Sang Hyang Buddha Sakyamuni, dikurung dalam kelopak puspa widuri; tingkat di bawahnya di tempati arca Dewi Indu yang diukir seperti Sang Bathari Sri Lokeswara di dalam Sanabangta. Undhag bertingkat seperti bukit yang tingginya sedada, pada muka candhi sebelah timur diukir gambar Sang Panji Maladresmi akan berangkat perang, berpamitan kepada Dewi Purnamawulan. Muka candhi sebelah barat tampak gambar Sang Panji sedang merayu dan menentramkan Dewi Purnamawulan yang bersedih karena ditinggal perang sampai akhir mengepung prajurit Pasundhan yang mengabdi sampai mati kepada Sang Baduga Rajanya. Dan setelahnya orang-orang Lasem memberi nama candhi tersebut dengan nama candhi “Malad”.

Pada waktu kerajaan Lasem di perintah oleh Ratu Dewi Indu, wibawa dan pengaruh Sang Prabu Putri begitu besar. Pemerintahannya adil, lurus, dan kencang. Wilayah kekuasaan sang Ratu Lasem ibarat bumi Jawa yang terbelah menjadi dua. Dari Pacitan dan sepanjang sungai/bengawan Genthong sampai pertemuan sungai/bengawan Silugangga di Pangkah Sidayu. Sedangkan semua tanah sepanjang timur bengawan dan semua pulau-pulau se-Nusantara menjadi daerah kekuasaan Prabu Hayam Wuruk ; yang mana kedua pemerintahan tersebuah menjadi satu di bawah kekuasaanNgawantipura Wilwatikta (Kerajaan Majapahit).

Sang Prabu Putri Lasem seperti Bathari Bodhisatwa Awalokiteswara, yang selalu memberi pengayoman dan memberi keberuntungan kepada rakyat semua. Para Punggawa kerajaan sujud dan berbakti, para rakyat memuji dan meluhurkan namanya.

Negara Lasem yang begitu sejahtera, gemah ripah loh jinawi, menghadap laut di kelilingi gunung dan perbukitan, di belakang hutan pejaten, tergelar sawah yang berbanjar, membentang sayup dan teduh sampai habis penglihatan mata. Lereng gunung Argapura tampak bergerumbul beraneka macam pohon-pohonan. Menjadi rumah bagi berbagai hewan yang berlari-larian. Di setiap pagi terdengar suara burung Merak yang bernyanyi merdu, ayam hutan yang berteriak membahana; burung-burung mengoceh dan makan dari buah beringin dan buah dhuwet atau buah trenggulun, yang tampak lebat dan matang-matang.

Kota Lasem tampak asri dan sejahtera, karena begitu banyaknya pohon buah-buahan yang di tanam sepanjang jalan. Kraton Dalem bertempat di bumi Kriyan, taman-sari balekambang Kamalaputri berada di sebelah tenggara Kraton; banyak pohon kamal-tropong yang tumbuh lebat. Sepanjang kerajaan banyak ditanami pohon sawo kecik, setiap perempatan dan pertigaan jalan ditanam pohon beringin. Setiap halaman rumah tampak pohon kelapa gadhing punyung sepasang, yang buahnya bergelantungan, lebat dan berjejal-jejalan ; tersisipi bunga-bunga beraneka warna ; mawar, melati, gambir, ketongkeng, arumdalu (sedap malam), kemuning dan pacar printhil. Di sebelah kanan kiri rumah ada pohon sawo manela, mangga golek, jambu lumut dan jambe.

Di pekarangan desa berjajar pohon-pohon dengan buah bergelantungan; pohon nangka, blimbing, kelapa dan lain sebagainya. Sepanjang kebon, ladang, ditanami pohon bogor (pohon siwalan); menghasilkan legen (nila pohon siwalan), siwalan dan lontar. Lontarnya digunakan untuk menulis catatan, cerita ataupun pustaka sabda dan tembang-tembang yang digubah. Legen (nila siwalan) dibuat untuk gula atau badheg. Di antara pohon-pohon bogor/siwalan ini ditanami pohon randu yang dirambati tanamanan suruh yang hijau dan segar, suruh ini dipakai untuk jamu/obat sakit perut.

Rumah pembesar dan pejabat di bagian depan tampak asri pohonan sinom/daun asam muda di belakang joglo, rumah Gebyog dari kayu jati yang dihiasi ukiran kekembangan. Rumah para abdi dalem di sekeliling kota, rumah dara-gepak tampak asri bagus dengan pagar anyaman bambu ori yang bersimpul anyam-anyaman limang pakan, yang menjadi lambang dari “Pancawignya” (yaitu: Gotrah (pemimpin Keluarga), Pekah, Pomah (Keluarga), Kradah (Sanak Saudara), dan Pamerintah). Dalem Kraton di tata dengan berbagai hiasan, landasan Saka-Guru dari Watu Selad yang dipahat dan diukir dengan motif Kembang Tunjung, langit-langit penuwun (atap) dhada-peksi tumpang-sari bertingkat tujuh, ganja pipilan curi lumah kurep; rumah Gebyok dihiasi ukiran pending melati selangsang. Dindingnya dari batu bata persegi yang besar-besar dan halus, kepala rumah terpayungi dengan atap papan dengan wuwungan ditutup dengan gendheng(atap rumah dari tanah liat) yang diukir cantik.

Pada waktu itu, agama orang-orang di Lasem adalah agama Syiwa dan Buddha, tapi kedua-duanya menjadi satu dalam Dharma. Padepokan sebagai tempat belajar dan mendalami agama Syiwa berada di Butun Punthuk (tanah tinggi/bukit) Gebang, dan di Samodrawela; dan Panembahan Maha Guru di Butun -lah yang pertama kali mengajarkan ilmu Kasunyatane Hyang Widdhi Esa. Sedangkan padepokan tempat mengajar agama Buddha berada di Punthuk Punggur, juga di Ratnapangkaja. Tempat bagi para mPu Pujangga dan Sarjana yang memuja Sang Hyang Ganapati, berada di PucanganGumuk(bukit) Ngendhen.

Dewi Indu menurunkan pangeran Badrawardana, Pangeran Badrawardana menurunkan Pangeran Wijayabadra, Pangeran Wijayabadra menurunkan Pangeran Badranala. Tiga keturunan trah Dewi Indu inilah yang kemudian turun-temurun menjadi Adipati di Lasem dan tetap menempati Dalem Kraton Indu di bumi Kriyan.

Pangeran Badranala menikah dengan Putri Campa bernama: Bi Nang Ti, menurunkan dua putra; bernama Pangeran Wirabraja dan Pangeran Santibadra. Setelah meninggalnya Pangeran Badranala, yang kemudian menggantikan sebagai Adipati Lasem adalah Pangeran Wirabraja, putra sulungnya.

Selama Pangeran Wirabraja menjadi bupati, belau tidak bertempat di Puri Kriyan Lasem, tetapi pindah dan bertempat tinggal di bumi Bonang Binangun, pada tahun Syaka 1391; berdekatan dengan tempat kubur Rama (ayah) Ibunya di punthuk/bukit Regol. Sedangkan Puri Kriyan ditempati oleh Pangeran Santibadra beserta anak istri dan keturunan-keturunannya.

Pada waktu Pangeran Wirabraja berpindah dan menetap di Kadipaten Binangun itulah, orang-orang yang berdagang dengan berlayar sepanjang Tuban, Gresik, dan Ngampel sebagian telah memeluk agama Rasul (Islam); meninggalkan agama Syiwa dan Buddha. Karena agama Rasul lebih mudah, syarat-syaratnya juga lebih hemat dan ringan; tidak terlalu banyak upacara-upacara dan sesaji beraneka macam yang hanya menghabiskan harta denda. Karena itu, orang-orang di sepanjang tanah pesisir utara lantas dengan rela dan ikhlas meninggalkan agama Syiwa dan Buddha.

Pangeran Wirabraja menurunkan Pangeran Wiranagara; yang sejak kecil sudah belajar mengaji agama Rasul di Ngampelgadhing. Di kemudian hari Pangeran Wiranagara diambil mantu oleh Maulana Rokhmat Shunan Ngampelgadhing, dijodohkan dengan putri sulungnya yang bernama Malokhah. Pangeran Wiranagara kemudian menggantikan ayahandanya menjadi Adipati di Binangun, memerintah menjadi Adipati selama 5 tahun tetapi kemudian meninggal dunia pada tahun Syaka 1401 ; pemerintahan kemudian dilanjutkan oleh istrinya, Putri Malokhah, janda muda yang baru berumur 28 tahun yang pada waktu itu telah berputra dua ; yang sulung bernama Solikhah, dan yang bungsu baru umur setahun telah meninggal, yang pada saat itu suaminya masih hidup.

Tahun Syaka 1402 dalem Kadipaten Binangun kemudian dipindah lagi ke Lasem oleh putri Malokhah, menetap di bumi Colegawan, berhadap-hadapan dengan dalem Kapangeran Puri Kriyan; yang pada waktu itu ditempati pangeran Santipuspa, Putra sulung Pangeran Santibadra, yang saat itu menjabat sebagai Dhang Puhawang atau Raja/penguasa Lautan di pelabuhan Kaeringan. Dalem Kadipaten Putri Malokhah menghadap selatan, di sebelah utara delanggung (jalan) besar, banyak pohon sowo kecik dan kembang kanthil. Sedangkan bekas Kadipaten Bonang ditempati oleh adik Putri Malokhah yang bernama Makdum Ibrahim, yang masih perjaka kelahiran tahun Syaka 1376 ; dan menjadi Kyai (ulama) guru agama Rasul dan menjadi Muadzin. Yang ketika telah berumur 30 tahun akhirnya diwisudha oleh Shunan Agung Ngampel, dijadikan Wali Negara Tuban yang mengurusi segala urusan agama ke-Rasulan, dan mendapatkan drajat/pangkat sebagai Shunan bertempat di Bonang Lasem, menapak tilas rumah kakak perempuannya, Putri Malokhah.

Tugas utama sebagai Makdum Ibrahim sebagai amanat dari kakak perempuannya, Putri Malokhah, untuk menempati bekas Kadipaten Bonang adalah untuk ikut merawat dan menjaga kuburan Putri Campa Bi Nang Ti sekeluarga yang berada di Puthuk Regol ; serta kuburan Pangeran Wirabraja dan Pangeran Wiranagara yang di kebumikan di bumi Keben. Shunan Bonang begitu taat dan berbakti merawat kuburan Eyang Putri Campa ; Batu Gilang yang ada di sekitar makam dipangkas dan diratakan, dijadikan tempat untuk sujud dan bertafakkur. Berbakti untuk terus merawat Eyang Putri Cempa Bi Nang Ti.

Dalem Kadipaten yang dipindah di Lasem tepatnya di bumi Colegawan oleh Putri Malokhah sebenarnya karena agar ia dapat lebih dekat dengan Pangeran Santipuspa, karena sang Pangeran dijadikan benteng dan pengayoman, serta menjadi penasehat bagi Sri Adipati Putri Malokhah. Para abdi dalem se-Kadipaten Lasem begitu menaruh sungkan, hormat dan begitu mencintai Pangeran Santipuspa, terlebih-lebih para abdi Pambelah di sepanjang Pesisir, sejak dari Menco Dhemeg (Demak) sampai ujung Brondong Sedayu; yang begitu takut dan begitu berbaktinya kepada Pangeran Santipuspa, salah satu Dhang Puhawang (penguasa/panglima laut) yang dianggap telah dikasihi olehSang Hyang Waruna. Yang ke Kedua, Pangeran Santipuspa adalah adik ipar (besan) Putri Malokhah, yang bisa menghibur kesusahan dan kepedihan Putri Malokhah setelah ditinggal mati suami dan putra bungsunya yang baru berumur satu tahun, sewaktu masih menetap di Kadipaten Bonang Binangun. Juga atas kepergian Putri pertamanya, Sholikhah, yang diboyong oleh suaminya, yaitu Arya Jin Bun ; Bintara Dhang Puhawang di Dhemeg (Demak).

Karena itu, untuk menghibur hati dan pikirannya, Putri Malokhah membuat membuat rumah dan taman di tepi pesisir Kaeringan, berdekatan dengan Candhi Samodrawela, candhi pemujaan para Pambelah yang memuja Sang Hyang Waruna ; taman tersebut dinamakan “Taman SITARESMI”.Setelah jaman berubah dan penuh carut marut dan kehancura, nama itu lantas diganti oleh manusia-manusia yang adigung cumanthaka (lancang dan menyombongkan kekuasaannya) , di ganti dengan nama : “Taman Caruban”.

Di dalam usahanya untuk menghibur dan menentramkan diri itulah, putri Malokhah ditemani oleh Pangeran Santipuspa ; yang mana keduanya saat itu menginjak umur 32 tahun. Wajah putri Malokhah seperti Dewi Banowati, sedangkan Pangeran Santipuspa seperti Raden Premadi. Setelah Makdum Ibrahim diwisudha menjadi Wali Negara dengan sebutan Shunan Bonang, beliau semakin kencang sekali mengajarkan dan menyebar-luaskan agama Rasul Islam di tanah Lasem sampai Tuban. Berkebalikan dengan kakak perempuannya, Putri Malokhah, setelah pindah di Puri Kadipaten Lasem, karena begitu seringnya berkumpul dan bertukar pikiran dengan adik ipar-nya, Pangeran Santipuspa, putri janda cantik Malokhah lantas berubah, tersilap oleh Ilmu dan Ajaran Pangeran Santipuspa ; Putri Malokhah menjadi semakin kendur bersembahyang sholat lima waktu, serta tidak berpuasa di bulan Ramadhan. Shunan Bonang Makdum Ibrahim jadi sangat tercengang setelah mengetahui kakak perempuan yang begitu dihormatinya telah berubah begitu jauh dari Agama. Karena itulah amanat dari kakak perempuanya, Putri Malokhah, lantas tidak lagi diindahkan ; Shunan jadi begitu sering meninggalkan dan tidak lagi merawat Pundhen Regol dan Keben, berpindah di Tuban dan tidak mau pulang sampai berbulan-bulan.

Putri Malokhah menjadi janda sampai meninggal pada umur 39 tahun ; membawa pemerintahan Lasem tanpa ada satupun bencana dan huru-hara, karena kebijaksanaan dan wibawa Pangeran Santipuspa yang membantu Putri Malokhah memerintah Kadipaten. Setelah meninggalnya Putri Malokhah kekuasaan Kadipaten Lasem lantas dirangkap oleh Sang Dhang Puhawang Pangeran Santipuspa, dengan dibantu oleh adiknya bernama Pangeran Santiyoga yang diamanahi untuk menempati Kadipaten Lasem.

Ratusan tahun jauh setelah Pangeran Santipuspa dan Putri Malokhah keduanya meninggal dunia, di masa pemerintahan Kadipaten Lasem di pegang oleh kekuasaan Bupati SuroadimanggoloIII, pemerintahan yang dibuat oleh Belanda Kumpeni Semarang, lantas lahirlah cerita yang salah, yang diselewengkan, yang dibolak-balik, dirubah dari yang sebenarnya. Nama Putri Malokhah dan Putri Campa Bi Nang Ti dan semua keturunannnya dijelek-jelekkan oleh manusia yang begitu benci. Dikarang, dibuat cerita oleh orang-orang yang begitu mabuk kekuasaan. Mabuk surga dan licik akalnya ; mencuri cerita, nekat menghancurkan dan berani menerjang peraturan ; berani mengarang cerita asal-asalan demi kepentingannya masing-masing.

Sigeg

Pangeran Santipuspa kelahiran tahun Syaka 1373. Waktu berumur 18 tahun mendapat amanat dari Ayahandanya, Pangeran Santibadra, untuk menempati Puri Kriyan menemani ibunya dan membantu merawat adik-adiknya yang berjumlah 9; karena sang ayahanda harus pergi ke Majapahit – untuk belajar dan mengabdi pada Agama Syiwa Budha, sebagai amanat terakhir ayahanda Pangeran Santibadra, kakek Pangeran Santipuspa yaitu; Adipati Lasem Pangeran Badranala, sebelum beliau meninggal dunia. Karena hal itulah Pangeran Santipuspa sampai bertekad menjadi perjaka, tidak akan menikah sebelum adik-adiknya yang putri menikah lebih dahulu, dan akhinya Pangeran Santipuspa baru menikah setelah berumur 39 tahun.

Adik pertama Pangeran Santipuspa (anak No. 2, Pangeran Santibadra) bernama : Silastuti, kelak akhirnya menikah dengan Adipati dari Mataun.

Adik kedua Pangeran Santipuspa (anak No. 3, Pangeran Santibadra) bernama : Santiwira, kelak akhirnya menjadi Kyai Ageng Bedhog ; cikal bakal desa Bedhog.

Adik ketiga Pangeran Santipuspa (anak No. 4, Pangeran Santibadra) bernama : Sulantari, kelak akhirnya menikah dengan Tumenggung Pamotan.

Adik keempat Pangeran Santipuspa (anak No.5, Pangeran Santibadra) bernama : Sulanjari, kelak akhirnya menikah dengan Kyai Ageng Ngataka ; yang menjadi cikal bakal desa Karangasem dan desaGedhug

Adik kelima Pangeran Santipuspa (anak No. 6, Pangeran Santibadra) bernama : Silarukmi, kelak akhirnya menikah dengan Kyai Ageng Dhemang Ngadhem.

Adik keenam Pangeran Santipuspa (anak No. 7, Pangeran Santibadra) bernama : Santiyoga, yang mendapat julukan Kyai Ageng Gada, menjadi Bintara Dhang Puhawang membantu kakaknya ; serta menjadi salah satu pimpinan Pathol , mengepalai semua Pathol-pathol Gada sampai Sarang.

Adik ketujuh Pangeran Santipuspa (anak No.8,Pangeran Santibadra) bernama : Santidharma, kelak menjadi Demang di Bakaran, menurunkan para pembesar-pembesar di Juwana dan Jakenan.

Adik kedelapan Pangeran Santipuspa (anak No.9,Pangeran Santibadra) bernama : Silagati, kelak akhirnya menikah dengan Kyai Ageng Sutisna dari Criwik, menurunkan pembesar-pembesar di bumiArgasoka.

Adik kesembilan Pangeran Santipuspa (anak No.10,Pangeran Santibadra) bernama : Santikusuma, kelahiran tahun Syaka 1390. Yang baru berumur satu tahun telah ditinggal pergi Ayahandanya, Pangeran Santibadra ke Majapahit sampai 10 tahun lamanya, sewaktu berumur 2 tahun ditinggal ibunda meninggal dunia. Karena itulah Pangeran Santipuspa begitu sangat mengasihi kepada adik-adiknya. Merasa menjadi wakil dari orang tua, menjadi kewajibannya untuk membesarkan adik-adiknya. Terlebih kepada adiknya yang terakhir, Pangeran Santikusuma, yang belum sampai kenyang meminum air susu ibundanya. Pangeran Santipuspa begitu mencintai dan mengasihi adik ragilnya yang tidak sampai besar ditunggui Ibundanya.

Setelah cukup besar, Pangeran Santikusuma sering sekali diajak kakaknya ke Kaeringan untuk belajar mendayung perahu ; atau menaiki kapal-kapal perang berlayar mengitari lautan Tuban, dan menghadap Kakek dari Ibunya yaitu Shunan Bejagung (Adipati Tuban) di Tuban. Selama berlayar itulah, Pangeran Santikusuma mendapatkan pelajaran-pelajaran dari kakaknya mengenai nama-nama bintang yang menjadi tanda untuk para Pelayar atau para Petani, mengenai saat-saat pergantian musim, saat-saat menjauhnya ikan dan musim di mana pohon-pohon berbunga dan berbuah. Pikiran Pangeran Santikusuma itu begitu tajam, ia juga sangat pintar, cerdas dan banyak akalnya. Pelajaran dan bimbingan dari kakaknya begitu mudah diingat dan dimengerti. Pada dasarnya pengetahuan kakaknya, Pangeran Santipuspa memang begitu luas dan dalam. Ilmu ka Buddhan dan Kabudayan yang diperoleh dari ayahanda Pangeran Santibadra sebelumnya, tak kurang satupun telah diajarkan kepada adiknya Pangeran Santikusuma.

Dan menginjak umur 18 tahun, Pangeran Santikusuma terus tumbuh dengan ilmu yang begitu tinggi dan berwawasan luas, menjadikannya kesulitan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan kasar dan halus. Ia begitu haus pada pengetahuan. Suka sekali berkelana menjelajah kota, bersilaturahmi kepada saudara-saudara jauh baik laki-laki maupun perempuan. Di tempat-tempat yang baru didatanginya pasti suka bertanya dan berguru kepada para tokoh, cendekiawan atau para ahli di daerah tersebut. Karena itulah pengetahuan Pangeran Santikusuma semakin lama semakin luas ; sedangkan ilmu yang dijadikan dasar pengetahuannya yaitu ngelmu Sabda Badrasanti dari ayahandanya, Pangeran Santibadra. Setelah pangeran mPu Santibadra kembali ke Lasem dan menetap di pertapaan Pamulang Puthuk Punggur, Pangeran Santikusuma sering sekali datang dan tinggal di sana, melayani dan berbakti kepada Ayahanda sekalian menimba pengetahuan kepada Ayahandanya, Pangeran Santibadra.

Menginjak umur 19 tahun, Pangeran Santikusuma ingin sekali belajar ilmu ka – Rasulan kepada kakeknya, Adipati Tuban. Karena Adipati Tuban tersebut merupakan salah satu pembesar Islam / Ulama tinggi ilmu Agamanya, mengajar mengaji kepada santri-santri di pondhok Bejagung. Dan dari kakeknya itulah, Pangeran Santikusuma mendapatkan nama ka – Islaman, bernama ; “Raden Mas Said”. Sepulang dari Tuban dan kembali ke Lasem, Pangeran Santikusuma atau Raden Mas Said sering sekali bertukar pikiran mengenai ilmu ka – Rasulan dengan Shunan Bonang. R.M. Said – Santikusuma kemudian menjadi sahabat karib dengan Shunan Bonang. Dan dari Shunan Bonang itulah R.M. Said kemudian mendapatkan tambahan ilmu Agama ka – Rasulan. Kalimat-kalimat Arab dari ilmu ka – Rasulan kemudian dialih, di Jawakan, disalin dan disandingkan dengan ungkapan-ungkapan ka Buddhan, dikarang oleh Pangeran Santikusuma, diolah dan dijadikan ilmu Kajawen Kebatinan.

Darah Prabu Wijaya Majapahit yang mengalir dalam tubuh Dewi Indu, hanya R.M. Said Santikusuma yang akhirnya begitu terkenal Wira Wegig Wiled Wicaksana (ksatria, ahli, cerdik dan bijaksana). Sampai tidak orang yang ditakuti sekalipun ia adalah ketua perompak atau panglima perang sekalipun, selain hanya ayahanda dan kakaknya, Pangeran Santibadra dan Pangeran Santipuspa. Berwatak lemah lembut, dan mengasihi orang-orang kecil. Tidak takut dengan yang namanya tukang tenung, tukang santet ataupun para penjahat yang sakti mandraguna.

Shunan Makdum Ibrahim yang disebut juga sebagai Shunan Walinagara dan umurnya lebih tua terpaut 14 tahun pun juga menaruh hormat dan segan kepada R.M. Said Santikusuma. Hal itu dikarenakan sejak Shunan Bonang merasa bahwa dirinya pun kalah wibawa dibandingkan dengan Pangeran Santikusuma R.M. Said sang pewaris Kadipaten Lasem berdarah Majapahit dan asli orang tanah jawa, sekalipun eyang putrinya adalah orang dari campa. Yang begitu dihormati dan dikasihi oleh semua orang, khususnya orang-orang kecil dan masyarakat Lasem. Sedangkan Shunan Bonang hanyalah orang kelahiran Ngampel dan berdarah Shunan Paw Lang, Maulana dari Ngatas-angin negaraSmarakandhi. Wibawane Shunan Bonang hanyalah dari kewewenangnya untuk mengatur peraturan dan segala urusan Agama Islam yang pusatnya pada saat itu berada di Ngampel-denta yang dikemudikan oleh Maulana Rokhmat sebagai Shunan Agung.

Karena itulah orang-orang di Lasem memberi julukan kepada Pangeran Santikusuma R.M. Said dengan nama “Pangeran Lokawijaya” (Loka dalam bahasa sansekerta berarti tempat, Wijaya dalam bahasa sansekerta dapat berarti unggul atau kemenangan). Sampai-sampai Arya Jin Bun kepala perompak dan bajak laut di teluk Menco yang berasa dari tanah Palembang beserta semua anak buahnya yang tersebar dan bersembunyi di bumi Glagah-Langu akhirnya bertobat, takut, hormat dan berbakti kepada Pangeran Said. Yang pada akhirnya beliau diangkat sebagai Pangembahan ing Glagah Langubumi Dhemeg (Demak) oleh para masyarakat di daerah tersebut. Kepala perompak Arya Jin Bun akhirnya dijadikan kepala Bintara.

Orang-orang Glagah-Langu yang bekerja sebagai petani, jika hendak menuju glagah, atau sawah dan kebun harus melewati tempat berawa-rawa di daerah tersebut. Rawa-rawa yang terlihat kering di bagian atas tanahnya tetapi di dalamnya penuh dengan lumpur yang basah dan likat. Karena itu mereka harus berjalan merangkak dengan hati-hati atau berjalan ndhemeg-ndhemeg karena jika berdiri takut terperosok ke dalam lumpur dan terjebak tak bisa keluar. Karena itulah tanah di daerah rawa-rawa tersebut dinamai bumi “nDhemeg”, pengucapan oleh orang-orang dari daerah atau desa lain sering menyebut dengan nama “nDemak”. Para petani dan masyarakat di daerah nDhemegtersebut semuanya juga menaruh hormat dan segan kepada Pangeran Said Santikusuma yang telah dianggkat menjadi Panembahan di Glagah-langu tersebut.

Sigeg

Pangeran Santipuspa meninggal pada umur 50 tahun, di kubur di tempat beliau mengabdi sebagaiDhang Puhawang di Kaeringan tepatnya di sebelah barat Chandi Samodrawela tempat pemujaan Sang Hyang Waruna, tidak jauh dari makam Putri Malokhah yang berada di Gedhong Taman Sitaresmi ; dijadikan satu dengan makam 3 Punakawan-pamonge (abdi setia) yaitu : Ging Hong, Palon dan Kecruk. Abdi yang telah berbakti mengabdi sejak Pangeran Santibadra masih berada di Banjarmlati, yang mendapatkan amanat untuk membantu menjaga dan merawat putra-putra Pangeran Santibadra yaituPangeran Santipuspa dan semua adik-adiknya. Mereka mengabdi sampai tua, mengikuti dan melayaniPangeran Santikusuma di Kaeringan dengan penuh pengabdian, sampai meninggal dan makamnya dijadikan satu di bumi Kajungan (pelabuhan) bernama Kaeringan tersebut.

Kubur Pangeran Santipuspa dimuliakan oleh para Pathol dan Pambelah (Nahkoda dan Nelayan). Setiap tanggal 1 Rembulan jatuh pada bulan Waisaka, orang-orang berkumpul mengadakan upacara doa dan keramaian, tontonan berupa Pathol yang bergulat adu kekuatan, lomba mendayung prahu pulang pergi dari Kaeringan sampai Marongan, Jambean dan lain sebagainya.

Sebelum keramaian dan tontonan dimulai, terlebih dulu bebarengan dengan munculnya sinar matahari yang tampak teduh dari puncak Gunung Argapura menyinari seluruh kota Lasem, diadakan Upacara melarung sesaji bubur baro-baro satambir anyar, dan kembang-kembang Mlati disawur, disebar-sebarkan oleh para perawan-perawan yang masih suci. Bubur satambir dari makam Pangeran Santipuspa kemudian diarak, dibawa ke lautan lepas oleh keturunan Pangeran Santipuspa, dengan diiringi para perawan-perawan suci, lantas dinaikkan prahu dan dipajang-pajang, diangkat ramai-ramai oleh para Pathol dan Pambelah. Di bawa ke tengah samudra yang dalamnya kira-kira se-dada. Bubur baro-baro satambir didoakan oleh sesepuh, lantas dilarung sebagai tanda penghormatan untuk menetapi bakti Pangeran Santipuspa sebagai tanda hormat pangeran kepada Biyung Dhenok Cucut Lintang (Induk/ibu ikan cucut lintang), yang telah menolong mengangkat tubuh Pangeran Santipuspasaat Pangeran menemui bahaya, perahu yang dinaikinya terbalik dan tenggelam di tengah-tengah samudra, saat beliau tengah kembali pulang setelah berlayar dari Pulau Bawean, musibah karena dicelakai oleh orang yang memusuhinya. Kanjeng Pangeran beserta abdi dan semua pasukannya tenggelam di lautan, berenang timbul tenggelam di tengah samudra luas dengan ombak yang besar. Di saat beliau tenggelam itulah kemudian beliau memuji dan berdoa kepada Sang Hyang Waruna supaya mendapatkan pertolongan ; doa Pangeran Santipuspa terkabul, dari dalam samudra tampaklah seekor Ikan cucut besar dan ikan-ikan cucut kecil berjumlah ribuan yang berenang –renang dan mengambang di dekatnya. Babon Cucut atau Induk ikan cucut yang besar itulah yang disebut-sebut oleh para Pambelah sebagai Cucut Biyung Dhenok (Induk/Ibu ikan Cucut).

Tubuh sang Pangeran Santipuspa didorong dan diangkat oleh Biyung Dhenok Cucut Lintang tersebut, diangkat dengan kepalanya ke permukaan dan di bawa sampai ke teluk Regol. Begitu juga dengan para abdi setia dan pasukannya, mereka diangkat oleh ikan-ikan cucut lain yang kecil-kecil tapi berjumlah sangat banyak dan digiring diselamatkan sampai ke tepi bersama-sama dengan sang Pangeran. Hingga akhirnya Pangeran Santipuspa dan semua awak kapal dapat selamat dari bahaya.

Pangeran Santipuspa kemudian menghaturkan puja dalam semedi dan mengucap bakti janji dengan ikrar “bahwa sejak hari itu, dia dan semua kuturunannnya jangan sampai mencelakai bahkan memakan ikan-ikan cucut lintang”.

Pangeran Santipuspa menurunkan Pangeran Kusumabadra
Pangeran Kusumabadra menurunkan Pangeran Santiwira
Pangeran Santiwira menurunkan Pangeran Tejakusuma I

Pangeran Tejakusuma I merupakan salah satu keturunan darah Pangeran Santibadra yang pada tahunSyaka 1502 bulan Palguna, hari Soma Manis (Senin Legi) ; meronce Sabda Badrasanti, digubah dibuatGuritan (syair, tembang, puisi bahasa jawa) ; atas perintah dari Kanjeng Sultan Pajang. KarenaKanjeng Sultan Pajang juga memuji dan mengagungkan Serat Sabda Badrasanti Kakawin peninggalan leluhurnya, Pangeran Santibadra. Kanjeng Sultan Pajang merupakan keturunan dari trah Putri Silastutiputri Pangeran Santibadra no. 2 yang kemudian dinikahi oleh Adipati Mataun, Bagus Tingkir Mas Karebet. Sultan Pajang masih cicit dari nenek buyutnya, Putri Silastuti.

Pangeran Tejakusuma I lantas diambil menantu oleh Sultan Pajang, dan diwisudha jadi Adipati Lasem pada tahun Syaka 1507. Beliau kemudian menempati Dalem Kadipaten Lasem yang baru yang beradi di bumi Sadita di sebelah utara jalan besar menghadap mangidul wetan (tenggara) perempatan, berhadap-hadapan dengan Alun-Alun Lasem, pada tahun Syaka 1510 bulan Caitra, hari Buda Manis(Rabu Legi). Dan bertepatan pada hari itu pada sebelah barat Alun-Alun dibuatlah sebuah Masjid dengan atap yang berpola Triratna dan puncak atapnya dihiasi dengan Makuthapraba. Di setiap tepi pelataran Masjid ditanami pohon sawo kecik yang rapat sekali, batang-batang pohonnya sampai saling bertemu; pelataran masjid jadi terlihat begitu teduh. Pangeran Tejakusuma I tinggi sekali laku tirakatnya, dia sering sekali bertapa di Punthuk Punggur , berada dalam semadi yang khusuk di goaPamulang, serta di kubur abu-perabuan Pangeran Santibadra. Karena itulah Pangeran Tejakusuma I mendapat julukan juga sebagai Kyai Ageng Punggur ; yang ketika masih mudanya dulu Pangeran Tejakusuma I juga mendapat nama dari ibunya dengan julukan “Bagus Srimpet”, karena waktu kecilnya dulu waktu dituntun ibunya, sering sekali nyrimpeti (merintangi) ngandul (menaiki) kaki ibunya.

Demi menyebarkan Agama Islam di Lasem yang bisa rukun berdampingan dan diterima masyarakat juga sesuai dengan paham Kejawen Kasunyatan, Pangeran Tejakusuma I lantas mendatangkan seorang Guru atau Ulama Islam yang ahli dalam ilmu Ma’rifat dari Tuban bernama Syeh Maulana Sam Bwa Smarakandhi, yang juga masih trah darah atau keturunan dari Shunan Pwa Lang dari Tuban pada tahun Syaka 1547. Maulana Sam Bwa begitu dekat dan taat pada Pangeran Srimpet Tejakusuma I, sebaliknya Pangeran Tejakusuma I juga begitu dekat dan mengasihi Syeh Maulana Sam Bwa ; sampai diambil mantu dan dijodohkan dengan putrinya dari istri selir.

Pangeran Tejakusuma I meninggal pada tahun Syaka 1554, pada umur 77 tahun ; dimakamkan di belakang Masjid Lasem, tepat berada di belakang pengimaman. Kyai Guru Syeh Maulana Sam Bwa Smarakandhi meninggal pada tahun Syaka 1575 pada umur 61 tahun, dan di kubur di sebelah utara serambi Masjid Lasem.

Pangeran Tejakusuma I menurunkan : Pangeran Tejakusuma II
Pangeran Tejakusuma II menurunkan : R.M. Wingit dan R.M. Wigit ; R.M. Wigit adalah putra terakhir dan menjadi Adipati Lasem dan mendapat gelar dengan nama Raden Panji Arya Adipati Tejakusuma III, dan merunkan R.P.A.A. Tejakusuma IV.

R.M. Wingit putra pertama dari Pangeran Tejakusuma II sejak kecil telah hidup dan pindah denganKanjeng Sultan Agung di Mataram, lantas menikah dan dijodohkan dengan seorang putri yang masih cucu dari Kanjeng Sultan. Tetapi setelah Sultan Amangkurat I diangkat menjadi Raja di Mataram dan bersekutu dengan kumpeni (penjajah) Belanda, apalagi perwatakan Raja baru tersebut kasar, sombong dan sok besar ; R.M. Wingit menjadi tidak betah hidup di Mataram, karena tidak suka dengan sikap dan perilaku Sultan Amangkurat I. Raden Mas Wingit lantas pamit dari Mataram dan pulang kembali ke tanah kelahiran nenek moyangnya di Lasem, membuka hutan dan menjadi cikal bakal dari desa baru di hutan Kajor ; namanya berubah menjadi Pangeran Kajoran atau Panembahan Rama. Setelah Pangeran Adipati Anom putra Sultan Amangkurat I bersekutu dengan Raden Trunojoyoberusaha untuk berkudeta menggulingkan pemerintahan ayahnya, lantas R.M Wingit Pamembahan Rama ikut membela dan membantu menantunya, Raden Trunojoyo melawan Sultan Amangkurat I. Tetapi, kelak di kemudian hari setelah Pangeran Adipati Anom diangkat menjadi raja dan mendapat gelar Sultan Amangkurat II menggantikan ayahnya, justru berbalik dan gantian memusuhi Raden Trunojoyo dan Panembahan Rama.

Orang-orang Mataram yang pernah disiksa dan dipermainkan oleh Sultan Amangkurat I lantas ikut mengungsi ke Lasem dan membuka hutan Megamalang dan membuat desa baru. Mereka pun turut bersekutu dengan Panembahan Rama melawan Kumpeni Belanda dan Sultan Amangkurat II. Perangnya Brandal Lasem (Brandal adalah istilah yang dipakai Penjajah Belanda dan sekutunya untuk menyebut pemberontak) melawan Kumpeni Belanda dan Prajurit Sultan. Para Brandal Lasem terpojok saat berperang dengan pasukan Belanda yang bersenjatakan senapan dan meriam. Raden Mas Wingit Panembahan Rama Kajoran akhirnya tertangkap oleh Belanda saat mengungsi di desa Criwik. Dia ditipu dan dijerumuskan oleh temannya sendiri satu pesantren saat belajar mengaji yaitu Kyai Ambyah ; Guru di Pesantren Warugunung, yang tega menipu sahabatnya sendiri demi mendapatkan ganjaran dariSultan Amangkurat II. Raden Mas Wingit Pangembahan Rama akhirnya dihukum mati dengan dipenggal kepalanya oleh serdadu Belanda dari Bugis, di sebelah timur dukuh Tulis. Tubuh R.M. Wingit Panembaha Rama akhirnya dapat diselamatkan oleh Brandhal dari desa Megamalang yang berpura-pura menjadi orang dari dukuh Tulis. Tubuhnya lantas dimakamkan oleh para Brandal di punthuk Seklonthok. Desa Kajor lantas dihancurkan dan diluluh lantakkan oleh Belanda. Orang-orang berlarian dan mengungsi ke hutan-hutan Argasoka, dan yang di kemudian hari akhirnya menjadi cikal bakal membuka desa-desa baru di sana.

Raden Panji Sumilir putra sulung dari R.M. Wingit Panembahan Rama Kajoran, juga terpepet dalam perang bersama pasukannya, lantas mengungsi di tempat orang Kanung yang memuji dan merawatPundhen Candhi Malad di dukuh Lowah. Pada waktu itu istri Raden Panji Sumilir sedang begitu kesusahan karena mengandung dan akan melahirkan, yang akhirnya juga ikut mengungsi bersama-sama suami dan para Brandhal lainnya. Bersamaan ketika istrinya melahirkan, Raden Panji Sumilirmendapatkan kabar bahwa ayahnya R.M. Wingit Panembahan Rama telah dihukum mati kisas /penggal oleh Kumpeni Belanda atas perintah Sultan Amangkurat II ; seketika itu meledaklah tangisRaden Panji Sumilir, diangkatlah jabang bayi anaknya yang baru saja lahir setinggi kepalanya dan menyucapkan sumpah prasetya : “Sakturun-turune bakal nglawan Kumpeni lan kabeh begundhal-begundale Walanda ( Semua keturunannnya kelak akan melawan penjajah dan semua antek-antek Belanda )”. Jabang bayi yang lahir pada saat munculnya sinar matahari, saat kembang-kembang duren tengah mekar pada bulan Jumadilakir tahun Jawa 1602 itu lantas diberi nama : Raden Panji Suryakusuma.

*****

Pada waktu itu, tepatnya bulan Jumadilakhir tahun Jawa (1601), bumi Lasem menjadi begitu membara karena diinjak-injak Kumpeni Balanda dan prajurit-prajurit Sultan Amangkurat II beserta antek-anteknya. Mereka datang menyerbu, merusak dan meluluh-lantakkan tanah Lasem.

Brandhal Lasem yang dipimpin oleh tiga pemimpin : Raden Trunojoyo, Raden Mas Wingit (Panembahan Rama / Pangeran Kajoran), Rade Mas Wigit (Pangeran Tejakusuma III) melawan Belanda beserta antek-anteknya, dengan tekad : “Lila sukung nyawa kanggo nglabuhi bumi Lasem aja nganti dikuasai Walanda (rela menyerahkan nyawa demi menjaga tanah Lasem jangan sampai dikuasai oleh penjajah Belanda)”. Bantheng-Bantheng Lasem yang gugur di palagan telah tak terhitung jumlahnya, menerima maut dengan lapang dada, rela mati di tangan singa-singa Belanda dan anjing-anjing Belanda yang hanya menerima imbalan tulang kerbau dan sapi.

Sampai setahun lamanya desa-desa se-Lasem jadi begitu sepi dan hampa, karena peperangan yang seolah tak ada henti-hentinya. Setelah Rade Mas Wigit (Pangeran Tejakusuma III) menemu ajal dipalagan (medan pertempuran) waktu bulan Jumadilawal tahun 1602, tubuhnya diungsikan kerabatnya dan dimakamkan di Pejaratan Brangkal. Raden Trunojoyo beserta pasukannya terpukul mundur ke timur sampai ke tanah Bulu, lantas Raden Mas Wingit Panembahan Rama Kajoran tertangkap musuh dan dihukum pancung (penggal leher) pada waktu maghrib bulan Jumadilakir tahun Jawa 1602. Bumi Lasem sejak itu secara nyata dikuasai Belanda dan para antek-anteknya.

Kyai Ambyah, sahabat R.M. Wingit Panembahan Rama yang berkhianat dan menjerumuskan sahabatnya sendiri akhirnya mendapatkan imbalan oleh Sultan Amangkurat II dengan diangkat sebagai penguasa Lasem dan diberi gelar Puspayuda yang berpangkat Tumenggung ; menggantikan Adipati Pangeran Tejakusuma III yang gugur di medan pertempuran demi mempertahankan tanah negaranya.

Tetapi baru memerintah Lasem kurang lebih satu tahun, pada akhirnya Kyai Ambyah menemu patikarena diracun oleh salah seorang abdi yang benci kepadanya. Sultan Amangkurat II lantas mengangkat Pangeran Tejakusuma IV menjadi Adipati Lasem, yang pada waktu itu mengabdi kepadaSultan Amangkurat II serta Kumpeni Belanda. Sebenarnya sikap Pangeran Tejakusuma IV tersebut hanyalah salah satu siasat yang digunakan untuk memperoleh kesempatan dan kembali menyusun kekuatan melawan Belanda dan antek-anteknya. Dengan diam-diam Pangeran Tejakusuma IV mengirim barang-barang berupa baju, makanan dan senjata serta barang-barang lain kebutuhan para Brandhalyang tengah bersembunyi di sekitar Gunung Argasoka. Bahkan barang-barang tersebut diambil sendiri oleh para Brandhal ; supaya tidak diketahui oleh orang lain.

Dalam waktu yang tidak begitu lama bumi Lasem telah kembali tentram dan dingin, tidak ada huru-hara sekalipun, tetapi sebenarnya di mana-mana dada semua orang Lasem begitu panas membara seperti api ditumpukan padi. Di Gunung Argasoka dan hutan-hutan sekitarnya Brandhal-Brandhal bermukim, membuat padhepokan yang tersebar dan bersembunyi di sudut-sudut kegelapan yang tak bisa dijangkau oleh musuh. Para Brandhal tersebut sebenarnya adalah campuran para pemberontak dari daerah lain yang menjadi satu, diantaranya ; Mataram, Purwodadi dan Lasem. Tetapi telah sama-sama satu bertekad ; “Sayuk saiyeg sabaya pati ; bersama-sama saling membantu sampai mati“. Tekad yang terus terjaga sampai kesemua keturunan-keturunannya, berperang melawan dan melenyapkan kekuasaan Kumpeni Belanda. Terlebih, para Brandhal tersebut merasa masih satu darah keturunan dari Eyang mPu Pangeran SANTIBADRA, yang telah tersebar sampai ke mana-mana, dan sekarang mereka telah terkumpul kembali menjadi satu dan mukim di dekat tempat perabuan Leluhur sendiri (Pangeran Santibadra) di punthuk Punggur Gunung Argasoka. Di tempat persembunyian-persembunyian tersebut mereka menentramkan diri, merasa seolah tengah diayomi dan dijaga oleh Leluhur sendiri yang saat semasa hidupnya dulu selalu merawat dan menasehati keturunan-keturunannya untuk selalu menjaga dan meluhurkan KABUDAYAN PRIBADI, jangan sampai terbawa oleh kabudayan asing dari negara Ngatasangin dan negara-negara lain. Karena itu, mereka paraBrandhal dan kesemua keturunannya masih tetap menjaga ilmu dan petuah Sabda Kanjeng Pangeran mPu SANTIBADRA, dan terus melestarikan menanam pohon MANDIRA dan TUNJUNG – Trate di bumi NUSANTARA.

Pangeran Tejakusuma IV manjadi Adipati Lasem sampai tua dan meninggal, sejak tahun jawa 1604 sampai tahun 1637. Memerintah dengan bijak, tidak mengecewakan seluruh rakyat juga kepada paraBrandhal yang bersembunyi di hutan-hutan sekitaran Gunung Argasoka yang pada akhirnya bermukim dengan tenang, membuat rumah, membuat desa baru dan bekerja sebagai petani di tempat persembunyian, tanpa pernah disergap oleh Belanda dan antek-anteknya. Bahkan para Brandhalkemudian belajar menulis dan membaca aksara jawa, mereka juga senang membaca Pustaka Sabda Badrasanti Guritan yang digubah oleh Pangeran Tejakusuma I. Dan sungguh kebetulan pada tahun itu (tahun jawa 1604) di kampung Pecinan Lasem telah ada seorang Cina beserta saudara-saudaranya yang membuat kertas dari dhedhak (sisa gilingan padi). Karena itu begitu mudah masyarakat Lasem dapat membeli kertas di kampung Pecinan tersebut ; terlebih kepada pada Penulis Pustaka Sabda Badrasanti, yang mendapatkan sumbangan kertas dari Adipati Lasem R.P. Arya Tejakusuma IV, yang begitu menyanjung dan memuliakan Pustaka Badrasanti warisan leluhurnya.

Karena begitu menghormati Ajaran Sabdanya mPu Kangeng Pangeran Santibadra, yang supaya semua keturunan-keturunannya mengagungkan Seni-Budaya sendiri, lantas R.P.A.A Tejakusuma IV sejak tahun Jawa 1606 membuat Wayang yang bisa di-tari-kan. Dibuat dari kayu jati yang dipahat, tangannya dipasangi cempurit (tangkai wayang), tubuh Wayang dibuat meniru dari bentuk tubuhWayang Beber. Walaupun di keraton Mataram sudah ada Wayang yang dibuat dari kulit sapi, tetapi orang-orang di Lasem masih banyak yang menghormati sapi karena masih ada orang-orang yang memuji Lembu Nandini dengan memberi sesaji yang terletak di Pasraman Butun Punthuk Gebang, serta setiap tahun masih memberi upacara “Ngalungi”. Orang-orang tersebut menghindari diri untuk memakan daging sapi dan menggunakan kulit sapi, kecuali orang-orang yang telah berpindah Agama Rasul (Islam) ; karena di agama Rasul memakan daging sapi sudah bukan lagi termasuk larangan.

Pangeran Tejakusuma IV memerintah tukang pahat kayu dari desa Ketandhan bernama Ki Mijan, diajak untuk membuat wayang dari kayu jati dan dinamakan “Wayang Krucil”. Lakon cerita mengangkat cerita Panji Lasem, sejak dari Panji Malad (Pangeran Rajasawardhana) sampai ke lakon Panji Sitaresmi. Para Panji di Punakawani (didampingi abdi setia) oleh para tiga pamong setia dari Banjarmlathi, yaitu abdi yang mengabdi setia sampai meninggal ; Ghing Hong, Palon dan Kecruk.

Pada waktu itu juga, orang-orang dari dhukuh Ngablek begitu senang dan sering sekali membuat pagelaran tontonan bernama Emprak yang diketuai oleh mantan kepala Brandhal dari dhukuh Lowahbernama Ki Guntur ; tetapi karena bentuk dan sifat dari tontonan Emprak yang hanya berisi banyolan yang membosankan dan sering kali kasar dan tidak sopan, akhirnya R.P.A.A. Tejakusuma IV ikut campur merubah konsep pertunjukan dan cerita. Ki Guntur diajak merubah membuat lakon baru tentang cerita Panji Kedhiri, yang menceritakan kisah kerajaan, diberi sifat-sifat Ksatria yang memberikan contoh mengenai aturan, sopan-santun dan kesusilaan. Lakon baru tersebut akhirnya di beri nama “Andhe-Andhe Lumut”.

Sewaktu R.P.A.A . Tejakusuma IV memerintah kekuasaan di Kadipaten Lasem, pengabdiaanya kepadaKraton Mataram hanyalah kebohongan belaka. Sejak Sulthan Amangkurat II bersekutu dengan penjajah Belanda, lantas penggantinya Sulthan Amangkurat III pun sama saja apalagi Sulthan baru tersebut mempunyai tabiat yang buruk, suka marah, semena-mena, berwajah buruk lagi cacat kakinya sehingga semua abdi banyak yang tidak suka. Sulthan Amangkurat III kemudian di ganti oleh Sulthan Pakubuwana I (Pangeran Puger) pun ternyata sama saja sifatnya denga raja-raja sebelumnya, bahkan semakin dekat dan mendukung penjajahan Belanda, yang semakin lama semakin nyata menguasai tanah jawa. Karena itulah R.P.A.A. Tejakusuma IV pun memilih menepi, tidak mau ikut campur, tidak mau ikut-ikutan dalam perebutan kekuasaan ditubuh Kraton Mataram yang silih berganti hanya bersekutu dan membela kepentingan penjajah Belanda. Beliau hanya memerlukan jabatan Adipati Lasem yang sedang dijabatnya saat itu untuk menata wilayah Kadepaten Lasem dan semua masyarakatnya. Dijaga, dan dirawat sedemikian rupa agar Lasem kembali tentram dan sejahtera.

Sepeninggal R.P.A.A. Tejakusuma IV, yang menggantikan beliau menjadi Adipati Lasem adalahPangeran Tejakusuma V. Semua Adipati Lasem sejak Pangeran Tejakusuma I sampai Adipati Pangeran Tejakusuma V menempati Puri dalem Kadipaten di Soditan. Sedangkan Puri Kriyan dan Puri Putri Malokhah kosong tak lagi berpenghuni sejak ditinggal Pangeran Santiwira sekeluarga bertapa dan menetap di puncak Gunung Argapura, karena merasa sudah tidak bisa dekat lagi dengan abdi dan rakyat yang telah berpindah agama Rasul (Islam) ; sampai tua dan meninggal dimakamkan di puncak Gunung Argapura. Kedua Puri Dalem bersejarah tersebut akhirnya tidak terawat dan rusak karena tidak ada yang merawat sama sekali, pekarangannya cukup luas lantas ditempati oleh saudara-saudara yang masih merasa keturunan Pangeran Santibadra, atau trah dari Dewi Indu.

Sigeg

semanten ka aturaken
matur sembah nuwun
kamcia