Syekh Quro/Qurotul Ain (Hasan = Hasan Al Din = Hasanudin)

~ Hasan dalam pelayaran Cheng Ho

Tidak sedikit kaum muslim china hanafi yg diajak oleh cheng ho dalam pelayaran-pelayannnya ke samudra barat diataranya terdapat beberapa tokoh muslim yg sangat berjasa seperti Wang Jing Hong, Ma Huan, Fei Xin, Guo Congli, Hasan, Sya’Ban, Pu Heri dll.

Hasan adalah Ulama Masjid Yang Shi di kota Xian, Provinsi Shan Xi, pada tahun 1413 dia diajak oleh Cheng Ho ikut dalam pelayaran yang ke-4, sebagai seorang ulama Hasan memainkan peran yang penting dalam mempererat hubungan persahabatan antara tiongkok dengan Negara-negara asia & afrika, terutama Negara-negara islam yg dikunjungi oleh cheng ho, disamping itu Hasan juga memimpin kegiatan-kegiatan agama islam dalam rombongan cheng ho seperti penguburan jenazah dilaut dan lain-lain.

Menurut Xian Fu Zhi(catatan riwayat wilayah Xian), cheng ho berhasil memugar suatu masjid yg terletak disebelah timur laut kabupaten Xian, pada tahun 1413, masjid itu semula didirikan oleh Shang Shu Tie Xuan pada tahun 1384 dan ditunjukkan pula dalam buku Chong Xiu Qing Jing Xi Bei Ji(catatan tugu pemugaran masjid) ditulis oleh Liu Xu pada tahun 1583. Pada april tahun 11 Yong Le (1413 M), Cheng Ho mengajak Ulama Hasan turut dalam pelayarannya.

Ketika kapal-kapalnya berlayar dilaut tiba-tiba angin menjadi kencang dan ombak menggelora sehingga kapal-kapal itu nyaris terbalik. Ulama hasan segera sholat dengan penuh khusyuk, berkat pertolongan Allah, Kapal-kapal cheng ho berhasil diselamatkan. Seketika itu juga cheng ho bersumpah akan memugar masjid tempat ulama hasan yang pada waktu itu memimpin kegiatan agama islam, masjid qinging di xian berhasil dipugar oleh cheng ho setelah kembali dari pelayarannya yang ke-4.

~ Hasan dalam babad jawa

Menurut Babad Tanah Jawa, pesantren pertama di Jawa Barat adalah pesantren Quro yang terletak di Tanjung Pura, Karawang. Pesantren ini didirikan oleh Syekh Hasanuddin, seorang ulama dari Campa pada tahun 1412 saka atau 1491 Masehi. Karena pesantrennya yang bernama Quro, Syekh Hasanuddin belakangan dikenal dengan nama Syekh Quro. Syekh Quro atau Syekh Hasanuddin adalah putra Syekh Yusuf Sidik. Awalnya, Syekh Hasanuddin datang ke Pulau Jawa sebagai utusan. Ia datang bersama rombongannya yang dipimpin oleh Laksamana Cheng Ho dalam perjalanannya menuju Majapahit. Dalam pelayarannya, suatu ketika armada Cheng Ho tiba di daerah Tanjung Pura Karawang. Sementara rombongan lain meneruskan perjalanan, Syekh Hasanuddin beserta para pengiringnya turun di Karawang dan menetap di kota ini.

Di Karawang, Syekh Hasanuddin menikah dengan gadis setempat yang bernama Ratna Sondari yang merupakan puteri Ki Gedeng Karawang. Di tempat inilah, Syekh Hasanuddin kemudian membuka pesantren yang diberi nama Pesantren Quro yang khusus mengajarkan Alquran. Inilah awal Syekh Hasanuddin digelari Syekh Quro atau syekh yang mengajar Alquran. Dari sekian banyak santrinya, ada beberapa nama besar yang ikut pesantrennya. Mereka antara lain Putri Subang Larang, anak Ki Gedeng Tapa, penguasa kerajaan Singapura, sebuah kota pelabuhan di sebelah utara Muarajati Cirebon. Puteri Subang Larang inilah yang kemudian menikah dengan Prabu Siliwangi, penguasa kerajaan Sunda Pajajaran. Kesuksesan Syekh Hasanuddin menyebarkan ajaran Islam adalah karena ia menyampaikan ajaran Islam dengan penuh kedamaian, tanpa paksaan dan kekerasan. Begitulah caranya mengajarkan Islam kepada masyarakat yang saat itu berada di bawah kekuasaan raja Pajajaran yang didominasi ajaran Hindu. Karena sifatnya yang damai inilah yang membuat Islam diminati oleh para penduduk sekitar. Tanpa waktu lama, Islam berkembang pesat sehingga pada tahun 1416, Syekh Hasanuddin kemudian mendirikan pesantren pertama di tempat ini.

~ Penugasan di Karawang & Cirebon(pemimpin china muslim hanafi di karawang dan Cirebon)

Karawang pada masa Islam juga merupakan kawasan penting dalam perdagangan. Pelabuhan Caravam yang sudah eksis sejak masa Kerajaan Sunda. Salah satu situs arkeologi dari masa Islam di Karawang adalah makam Syech Quro. Menurut tulisan yang tertera pada panil di depan komplek makam, Nama lengkap Syech Quro adalah Syech Qurotul Ain. Menurut naskah Purwaka Caruban Nagari, Syech Quro adalah seorang ulama yang juga bernama asli Syeh Hasanudin. Beliau adalah putra ulama besar Perguruan Islam di Champa/China selatan (Yunnan) yang bernama Syech Yusuf Siddik yang masih ada garis keturunan dengan Syech Jamaluddin serta Syech Jalaluddin (Panglima perang Yunnan).

Pada tahun 1418 datang di Pelabuhan Muara Jati, daerah Cirebon. Tidak lama di Muara Jati, kemudian pergi ke Karawang dan mendirikan pesantren. Disebutkan bahwa letak bekas pesantren Syech Quro berada di Desa Talagasari, Kecamatan Talagasari, Karawang. Di Karawang dikenal sebagai Syech Quro karena beliau adalah seorang yang hafal Al-Quran (hafidz) dan sekaligus qori yang bersuara merdu. Sumber lain mengatakan bahwa Syech Quro datang di Jawa pada tahun 1416 bersama armada Laksamana Cheng Ho yang diutus Kaisar Cina Cheng Tu atau Yung Lo (Kaisar ketiga jaman Dinasti Ming) ke jawa(majapahit). Tujuan utama perjalanan Cheng Ho ke Jawa dalam rangka menjalin persahabatan dengan raja-raja tetangga Cina di seberang lautan selatan. Armada tersebut membawa rombongan prajurit 27.800 orang yang salah satunya terdapat seorang ulama yang ditugaskan untuk memimpin kelompok china muslim hanafi di Karawang dan Cirebon, Syech Quro beserta pengiringnya turun di pelabuhan Karawang, sedangkan armada China/Cheng ho melanjutkan perjalanan dan berlabuh di Pelabuhan Muara Jati Cirebon sebelum akhirnya melanjutkan menuju ke majapahit.

Di Karawang pada tahun 1338 Saka (1416 M) mendirikan pesantren di Pura Dalem, diberi nama Pondok Quro yang artinya tempat untuk belajar Al Quran. Syech Quro adalah penganut Mahzhab Hanafi, yang datang bersama anak angkat bernama Syech Bentong alias Tan Go. Dari istrinya yang bernama Siu Te Yo mempunyai seorang putri diberi nama Sie Ban Ci. Syech Quro kemudian menikah dengan Ratna Sondari dan lahir Syech Akhmad yang menjadi penghulu pertama di Karawang.
Setelah melakukan islamisasi di Karawang Syech Quro kemudian menjalani hidup menyendiri di Kampung Pulobata, Pulokalapa. Di kampung ini beliau melakukan ujlah untuk mendekatkan diri kepada Allah agar memperoleh kesempurnaan hidup. Demikian ini beliau lakukan hingga akhir hayat.

~ Makam

Makam Syech Quro ditemukan oleh Raden Sumareja (Ayah Jiin) dan Syech Tolha pada hari Sabtu akhir bulan Sya’ban tahun 1859. Mungkin karena ditemukan pada hari Sabtu maka hingga sekarang pada setiap hari Sabtu banyak orang yang berziarah. Komplek makam ini berada di pemukiman penduduk Kampung Pulobata, Desa Pulokalapa, Kecamatan Lemah Abang tepatnya pada koordinat 06° 15' 101" Lintang Selatan dan 107° 28' 900" Bujur Timur.
Komplek makam berada pada lahan seluas 2.566 m2 yang batas-batasnya sebelah utara pemukiman, timur, selatan, dan barat berupa sawah. Komplek makam ini berada di sebelah selatan jalan desa. Sebelum memasuki komplek makam terdapat halaman yang sangat luas berfungsi sebagai tempat parkir kendaraan para peziarah. Di pinggir halaman parkir ini terdapat deretan warung yang menyediakan makanan serta benda-benda untuk keperluan ibadah seperti tasbih, peci, mukena, baju koko, dan kitab. Selain di pinggir lahan parkir, sebetulnya sudah disediakan tempat khusus untuk berjualan yang mirip pasar tradisional. Lahan tempat berjualan ini terletak di sebelah timur komplek makam. Aktivitas berjualan kelihatan hidup pada setiap hari Jumat malam hingga Sabtu, karena pada hari itu merupakan hari puncak pelaksanaan ziarah.
Komplek makam bagian depan diberi pembatas pagar tembok berwarna hijau. Bentuk arsitektur pagar tembok tersebut melengkung dengan jarak lengkungan tertentu sehingga terbentuk beberapa puncak lengkungan. Pada setiap puncak lengkung pagar dihias dengan semacam kubah masjid. Sisi-sisi lengkungan pagar berhias kaligrafi. Gerbang masuk bagian atasnya juga melengkung, tetapi lengkungannya merupakan kebalikan dengan lengkung pagar.

Di sebelah barat gerbang masuk terdapat salah satu dari tujuh sumur keramat yang berada di komplek makam. Di sebelah timur gerbang masuk bagian dalam terdapat panil peringatan penemuan komplek makam. Pada panil peringatan tersebut juga tertulis pesan Syech Quro yang berbunyi: “Ingsun titip masjid langgar lan fakir miskin anak yatim dhuafa”.
Di halaman dalam komplek makam terdapat masjid dan cungkup makam Syech Quro. Sebagai objek yang bersifat living monument, semua bangunan di komplek makam ini selalu berkembang mengikuti situasi. Bangunan cungkup makam Syech Quro sebagai bangunan inti merupakan bangunan baru, terbagi tiga bagian. Bagian depan merupakan bagian terbuka, bagian tengah merupakan ruangan untuk berdoa, dan bagian dalam tempat makam Syech Quro. Para peziarah tidak diperkenankan memasuki ruangan makam Syech Quro, peziarah cukup sampai di depan pintu ruangan. Didepan pintu tersebut terdapat beberapa benda untuk ziarah seperti tempat pembakaran kemenyan, beberapa plastik tempat air mineral yang berisi air dari sumur keramat, dan kotak kayu tempat shodaqoh. Jirat makam berukuran 2,70 x 2,25 m. Nisan terbungkus kain putih. Tinggi nisan 85 cm. Di samping cungkup makam terdapat salah satu sumur keramat yang dinamakan sumur awisan. Sumur tersebut berdiameter 1 m.


~ Syech Quro dalam pandangan budayawan Betawi

Dari hasil penelitian Ridwan Saidi dikatakan bahwa ulama Betawi yang pertama yang dapat dilacak jejaknya adalah Syekh (Syaikh) Quro, Karawang.[1] Alasan Syekh Quro dijadikan sebagai ulama Betawi pertama oleh Ridwan Saidi karena kiprahnya dalam mengislamkan orang-orang Betawi yang berada di Karawang, walau Syekh Quro berasal dari Campa bahkan ia memiliki murid yang kemudian menyebarkan Islam sampai ke wilayah Sunda Kalapa (Jakarta). Karawang sendiri, menurut Ridwan Saidi, termasuk dalam wilayah kebudayaan Betawi.
Diterimanya Syekh Quro oleh orang Betawi di Karawang karena ia adalah orang Campa. Menurut Ridwan Saidi, orang Campa adalah orang Melayu yang pernah memiliki kerajaan. Mereka mempunyai hubungan erat dengan orang-orang Malabar yang juga akrab dengan orang-orang di Jawa bagian barat sejak kurun sebelum Masehi. Baik orang Campa maupun orang Betawi sudah biasa dengan kehidupan yang pluralis. Maka transformasi nilai-nilai Islam ke aorta komunitas Betawi tidak mengalami kesulitan.[2] Kisah orang Campa yang menyiarkan Islam di Karawang tidak hanya berhenti di Syekh Quro. Di Batu Jaya, Karawang terdapat sebuah makam yang dihormati berlokasi di tepi kali Citarum. Makam itu adalah makam Guru Toran yang berdarah Campa. [3]
Nama lain Syekh Quro adalah Syekh Qurotul`ain, Syekh Mursyahadatillah atau Syekh Hasanuddin. Ia dipanggil Syekh Quro karena ia ahli ngaji atau qira`at yang sangat merdu.[4] Tidak diketahui mengapa ia dipanggil Syekh Qurotul`ain atau Syekh Mursyahadatillah. Sedangkan nama Syekh Hasanuddin diyakini sebagai nama aslinya.

Syekh Quro adalah putra dari salah seorang ulama besar di Makkah, yaitu Syekh Yusuf Siddik yang menyebarkan agama Islam di Campa. Syekh Yusuf Siddik masih keturunan Sayidina Husain bin Sayyidina Ali Karamallaahu wajhah. Tidak diketahui dengan pasti tentang riwayat masa kecil dari Syekh Quro. Sumber tertulis hanya menjelaskan bahwa pada tahun 1409 masehi, setelah berdakwah di Campa dan Malaka, Syekh Quro mengadakan kunjungan ke daerah Martasinga Pasambangan dan Japura hingga akhirnya sampai ke pelabuhan Muara Jati, Cirebon.[5] Kedatangan Syekh Quro disambut dengan baik oleh Ki Gedeng Tapa atau Ki Gedeng Jumajan Jati yang masih keturunan dari Prabu Wastu Kencana. Demikian juga masyarakat di daerah tersebut yang sangat tertartik oleh sifat, sikap dan ajaran yang disampaikan oleh Syekh Quro, sehingga mereka banyak yang menyatakan memeluk agama Islam.
Kegiatan dakwah yang dilakukan Syekh Quro ini ternyata sangat mencemaskan Raja Pajajaran yang ketika itu dijabat oleh Prabu Anggalarang. Syekh Quro diminta oleh Raja Pajajaran ini untuk menghentikan kegiatan dakwahnya. Permintaan ini dipatuhi oleh Syekh Quro. Tidak lama kemudian, Syekh Quro mohon pamit, dan Ki Gedeng Tapa sendiri merasa prihatin atas peristiwa yang menimpa ulama ulama basar itu. Sebab, ia pun ingin menambah pengetahuannya tentang agama Islam, karenanya ketika Syekh Quro kembali ke Campa, putrinya yang bernama Nyi Mas Subang Larang, dititipkan ke Syekh Quro untuk didik agama Islam di Campa.[6]
Beberapa tahun kemudian, Syekh Quro kembali ke wilayah Pajajaran. Ia kembali bersama pengiringnya menumpang kapal yang dipimpin Laksamana Cheng Ho dalam perjalanannya menuju Majapahit. Dalam pelayarannya itu, armada Cheng Ho tiba di Pura Karawang, Syekh Hasanuddin beserta para penggiringnya turun di Karawang.[7] Di antara anggota pengiringnya tersebut adalah Nyi Mas Subang Larang, Syekh Abdul Rahman, Syekh Maulana Madzkur dan Syekh Abdillah Dargom alias Darugem alias Bentong bin Jabir Mudofah. Karena perilaku yang simpatik, pada tahun 1418, Syekh Quro dan pengiringnya diberikan izin oleh penguasa setempat untuk mendirikan Musholla sebagai sarana ibadah sekaligus tempat tinggal, yang menjadi pondok pesantren di pertama di Karawang bahkan mungkin di Indonesia. Musholla ini juga menjadi cikal bakal Masjid Agung Karawang sekarang ini.[8]
Berita kedatangan dan kegiatan Syekh Quro di Karawang terdengar oleh Prabu Anggalarang yang kemudian mengutus utusannya menutup pesantren Syekh Quro. Utusan yang datang itu dipimpin oleh putra mahkota yang bernama Raden Pamanah Rasa. Sesampainya di pesantren Syekh Quro, Raden Pamanah Rasa tertarik oleh alunan suara merdu pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur`an yang dikumandangankan oleh Nyi Mas Subang Larang sehingga ia mengurungkan niatnya untuk menutup Pesantren Syekh Quro. Selain itu, Raden Pamanah Rasa jatuh hati kepada Nyi Mas Subang Larang. Akhirnya, keduanya menikah setelah Raden Pamanah Rasa masuk Islam. Dari pernikahan ini mereka mendapatkan tiga orang putra-putri, yaitu Raden Walangsungsang, Nyi Mas Rara Santang, dan Raja Sangara. Raja Sangara terkenal dengan nama Prabu Kian Santang (Sunan Rohmat) penyebar agama Islam di tanah Sunda.[9] Bahkan menurut Ridwan Saidi, Kian Santang juga penyebar agama Islam di tanah Betawi, khususnya di daerah Karawang.
Menjelang akhir hayatnya, Syekh Quro melakukan ujlah atau menyepi diri dari pesantrennya ke salah satu Dusun Pulobata, Desa Pulokalapa yang sekarang masuk ke dalam wilayah kecamatan Lemahabang yang masih berada di wilayah Karawang. Ada keterangan yang menarik mengenai letak kuburan Syekh Quro. Menurut pengakuan salah satu imam Masjid Agung Karawang. Syekh Quro wafat dan dikuburkan persis di depan Masjid Agung Karawang kini yang kini ditutupi oleh tembok. Hal ini dilakukan agar orang tidak ramai menziarahi kuburannya dan mengkultuskannya. [10] Namun, di buku Ikhthisar Sejarah Singkat Syekh Qurotul`ain dikatakan bahwa makam Syekh Quro berada di Pulobata sehingga banyak orang yang datang menziarahinya untuk berbagai keperluan. Dari pengakuan E. Sutisna (keturunan dari Raden Somaredja yang menemukan malam tersebut) makam Syekh Quro yang berada di Pulobata adalah ”maqam” atau petilasan, bukan kuburannya. Sehingga dapat dikatakan bahwa yang berada di Masjid Agung Karawang adalah kuburan dari Syekh Quro, bukan yang berada di Pulobata[11] *** (Rakhmad Zailani Kiki)

________________________________________
[1]Disampaikan oleh Ridwan Saidi pada acara Halaqah Betawi Corner di JIC,Rabu, 04 Maret 2009. Ridwan Saidi menulisnya “Syekh Kuraa”. Sedangkan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Karawang, Jawa Barat menulisnya dengan Syekh Quro sebagaimana yang dijelaskan dan dokumen tertulis yang diserahkan kepada JIC pada penelitian lanjutan Genealogi Intelektual Ulama Betawi, Senin, 18 Oktober 2010 .
[2]Ridwan Saidi, Potret Budaya Manusia Betawi, (Jakarta: Perkumpulan Renaissance Indonesia, 2011), Cet. Ke-1, h. 117.
[3] Ibid.
[4] Jojo Sukmadilaga, (dkk.), Ikhthisar Sejarah Singkat Syekh Qurotul`ain, (Karawang: Mahdita, 2009), Cet. Ke-1, h. 10.
[5] Ibid.
[6]Ibid.
[7] Cik Hasan Bisri, Yeti Heryati, dan Eva Rufaidah (ed.), Pergumulan Islam dengan Kebudayaan Lokal di Tatar Sunda, (Bandung: Kaki Langit, 2005), Cet. Ke-1, h.49.
[8]Jojo Sukmadilaga, dkk, Ikhthisar Sejarah Singkat Syekh Qurotul`ain, op. cit., h. 11..
[9] Ibid. h. 13.
[10]Wawancara dengan salah satu imam Masjid Agung Karawang, Senin, 18 Oktober 2010 , nama dirahasiakan.
[11]Wawancara dengan E.Sutisna, Kepala Desa Pulokalapa, Lemahabang, Karawang di kediamannya. Senin, 18 Oktober 2010