Prasasti Sdok Kak Thom (Kamboja)

---:: Prasasti Sdok Kak Thom ::---
( Prasasti kemerdekaan Kamboja dari kekuasaan Jawa.)

Nomor Katalog : K. 235
Masa : 974 Śaka = 1052 Masehi
Lokasi : Sa Kaew province, Thailand (about 3 kilometers from the Cambodia frontier)
Terdiri dari 340 baris (194 sanskrit, 146 Khmer (29 baris di K 235 C;117 baris di K 235 D))

Prasasti ini ditemui di Phnom Sandak di Preah Vihear bertarikh 1052 Masehi, dan ditulis dalam Bahasa Sanskrit dan Khmer. R.C Majumdar telah menterjemah prasasti ini seperti berikut:

“Prasasti ini ditulis dalam bahasa Sanskrit/sangsekerta dan Khmer bertarikh 974 saka (1052) menyatakan bahwa Raja Jayavarman II, yang datang dari Jawa untuk memerintah Kota Indrapura, melaksanakan satu perayaan keagamaan supaya Kambujadesa(Indochina/Kamboja & vietnam) tidak lagi terletak dibawah takluk Jawa. Kerana Jayavarman II memerintah dari tahun 802 – 869 Masihi. Ini bermakna negara Khmer telah merdeka dari pengaruh Jawa hingga akhir abad ke-8. Seterusnya ia kekal merdeka.”

https://www.facebook.com/photo.php?fbid=10201085974751712&l=1d176a6629

Dari beberapa buah prasasti yang dikeluarkan oleh Jayawarman II, agaknya Prasasti Sdok Kak Thom (802 Masehi) yang isinya penting dalam kaitannya pertalian sejarah antara Kamboja dan Jawa. Prasasti Sdok Kak Thom pada bagian yang berbahasa Khmer menyebutkan:

“Yang Mulia Parameswara telah datang dari Jawa kemudian menjadi raja di Kerajaan Indrapura” (bait 61-62). Pada bait lain (71-72) disebutkan: “Yang Mulia Brahmana Hiranyadama yang ahli dalam ilmu gaib telah datang dari Janapada karena Paduka Yang Mulia Parameswara telah mengundangnya untuk mengadakan upacara religi, agar daerah Kamboja tidak lagi tergantung kepada Jawa, oleh karena Yang Mulia telah menjadi cakrawarti“(Cœdès 1970, 96-97).

Kata “Jawa” tidak hanya ditemukan di dalam Prasasti Sdok Kak Thom saja, tetapi ditemukan juga di dalam Prasasti Vat Samrong dalam kalimat: “Yang Mulia, yang telah pergi ke tempat Parameswara (maksudnya mangkat) pergi ke Rdval, mempercayakan kepada Mratan Sri Prathivinarendra untuk mengadakan ritual guna mencegah daerah Kamboja dikuasai Jawa”.

Dari keterangan kedua prasasti tersebut, dapat diduga bahwa pada masa itu Kamboja berada di bawah kekuasaan atau sekurang-kurangnya pengaruh Jawa, dan ritual yang mengandung kekuatan gaib dapat dikatakan merupakan suatu pernyataan kemerdekaan Kamboja dari kekuasaan Jawa.

Selain prasasti yang dikeluarkan oleh Jayawarman II, prasasti lain yang menyebutkan “jawa” adalah Prasasti Yang Tikuh yang dikeluarkan oleh Raja Indrawarman pada tahun 799 Masehi. Isinya mengenai peringatan selesainya pemugaran kuil Bhadradhipatiswara yang pada tahun 787 Masehi telah diserang dan dibakar oleh sepasukan yang datang naik kapal dari Jawa. Pada tahun 774 Masehi Campa juga pernah mendapat serangan dari orang-orang yang datang dari Jawa.

Peristiwa penyerangan Jawa atas Kamboja begitu membekas di hati rakyat Kamboja, sehingga menjadi sumber cerita orang-orang Khmer yang disampaikan kepada saudagar Arab ketika ia berkunjung pada tahun 851 Masehi.

Saudagar Arab yang bernama Sulaeman menceriterakan tentang kekalahan yang diderita oleh raja Khmer akibat serangan yang dilakukan oleh pasukan Sri Maharaja dari negeri Zabag. Nama
Sri Maharaja disebutkan juga di dalam beberapa prasasti dari abad ke-8 Masehi, baik yang ditemukan di Jawa (Prasasti Kalasan, 778 Masehi) dan Tanah Genting Kra (Prasasti Ligor B, 775 Masehi).

Antara Kerajaan Angkor/Indrapura, Sri wijaya, dan Mataram mungkin terdapat pertalian darah yang berasal dari dinasti yang sama, yaitu Sailendra(=Raja Gunung). Menurut kronik di Asia Tenggara, dinasti ini masih keturunan dari Fu-nan yang juga menyatakan diri sebagai “Raja Gunung”.

Di Nusantara, Dinasti Sailendra berkuasa di dua tempat yaitu Sri wijaya (Sumatra) dan Mataram (Jawa). Pada satu masa (paruh kedua abad ke-8 Masehi), agaknya kekuasaan dipegang oleh raja Rakai Panamkaran Sang Ratu Sanjaya. Menurut prasasti Nalanda (abad ke-8), Prasasti Ligor, (775 Masehi), dan Prasasti Kalasan (778 Masehi), raja ini menjalin hubungan politik dan religi dengan India, Thailand, dan Melayu Tua (di Semenanjung Tanah Melayu). Diberitakan bahwa raja ini membangun salah satu asrama pelajar di kompleks Nalanda, Trisamaya Caityadi Ligor (Tanah Genting Kra), dan Kalasan (Jawa Tengah).

Pengaruh Sailendra di Asia Tenggara daratan tampak dari arca-arca Bodhisattwa yang ditemukan di Thailand dan di Bidor, Malaysia. Juga dalam gaya seni bangunan ditemukan di bangunan-bangunan yang terdapat di dalam kompleks Angkor. Gaya seni Jawa tampak kental
pada hiasan kala yang terdapat pada ambang pintu.

Kesejajaran pertumbuhan kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara, tentu saja berakibat pada kebudayaan bangsa-bangsa tersebut. Sebagai contoh, misalnya masuknya politik yuridis Jawa di Kamboja pada sekitar abad ke-8--9 Masehi mengakibatkan masuknya pengaruh budaya
Jawa. Pada gaya seni bangunan (arsitektur) tampak pada bangunan Phnom Kulen dari jaman Jayawarman II, kuil Preah Ko dari kelompok bangunan Roluos yang dibangun oleh Raja Indrawarman I (877-889 Masehi), dan bangunan-bangunan yang dibuat semasa pemerintahan
Jayawarman V dari abad ke-10 Masehi (Syafei 1977, 433)
.

~ Jayawarman II

Jayawarman II (bahasa Khmer: ជ័យវរ្ម័នទី២),(c.770 - 850)[1] adalah raja Kamboja abad ke-9, dan diakui secara luas sebagai pendiri Kerajaan Khmer dan memulai periode Angkor dalam sejarah Kamboja. Raja-raja kemaharajaan Khmer memerintah daratan Asia Tenggara selama lebih dari 600 tahun. Para sejarawan pada awalnya menetapkan masa pemerintahannya dari 802-850 M. Namun banyak juga sarjana yang berpendapat Jayawarman bertahta lebih awal, yaitu 770-835 M[2]
Jayawarman II dianggap sebagai perintis periode Angkor, yang dimulai dengan ritual upacara suci agung yang dilakukan Jayawarman II pada tahun 802 di atas gunung suci Mahendraparwata, kini dikenal sebagai Phnom Kulen, untuk meresmikan kemerdekaan Kambuja lepas dari kekuasaan Jawa.[3] Pada upacara ini Jayawarman diangkat sebagai penguasa jagat (Kamraten jagad ta Raja dalam bahasa Kamboja) atau Dewa Raja (Deva Raja dalam bahasa Sansekerta). Menurut beberapa sumber, Jayavarman II pernah tinggal di Jawa pada masa kekuasaan wangsa Sailendra, atau "Para Raja Gunung", karena itulah mungkin konsep Dewaraja dipengaruhi oleh Jawa. Pada saat itu raja-raja Sailendra juga sebagai penguasa Sriwijaya menguasai Jawa, Sumatra, dan semenanjung Malaya serta sebagian dari Kamboja.[4]
Berdasarkan prasasti di candi Sdok Kak Thom disebutkan bahwa di puncak gunung Kulen Jayawarman memerintahkan seorang Brahmana bernama Hiranhadama untuk menggelar upacara agama yang disebut dengan kultus dewaraja (bahasa Khmer: ទេវរាជា) yang menobatkan Jayawarman II sebagai chakrawartin, penguasa jagat.

Pendirian ibu kota baru Hariharalaya kini terletak di dekat Roluos, adalah wilayah permukiman yang kemudian akan berkembang menjadi kawasan kota Angkor. Meskipun perannya yang penting dalam sejarah Khmer, tidak ditemukan cukup bukti sejarah yang menuliskan mengenai Jayawarman II. Tidak ditemukan prasasti yang dikeluarkan olehnya, akan tetapi namanya disebutkan dalam beberapa prasasti dari zaman berikutnya setelah kematiannya. Ia nampaknya berasal dari keluarga bangsawan, memulai kariernya melalui serbagai penaklukan di beberapa wilayah Kamboja. Ia dikenali sebagai Jayavarman Ibis pada saat itu. “Demi kesejahteraan rakyat dalam bangsa kerajaan yang suci, bunga teratai tidak lagi memiliki tangkai, ia tumbuh berkembang sebagai bunga baru,” demikian pernyataannya dalam sebuah prasasti.[5] Beberapa detil riwayatnya diceritakan dalam prasasti lain: ia menikahi perempuan bernama Hyang Amrita; ia mempersembahkan sebuah candi di Lobok Srot, di tenggara Kamboja.

~ Catatan kaki
1. ^ birth and death dates, Britannica.com, Retrieved 11-23-2010
2. ^ Mabbett & Chandler, The Khmers p. 261
3. ^ Albanese, Marilia (2006). The Treasures of Angkor. Italy: White Star. hlm. 24. ISBN 88-544-0117-X.
4. ^ Dancing in shadows: Sihanouk, the Khmer Rouge, and the United Nations in Cambodia
5. ^ Briggs, The Ancient Khmer Empire p. 83.

Referensi:
http://id.wikipedia.org/wiki/Jayawarman_II