Kronik Sampokong / Sam Po Toa Lang

---:: Kronik Sam Po Toa Lang di Klenteng Gedong Batu Semarang: Peranan Orang2 Tionghwa / Islam / Hanafi Didalam Perkembangan Agama Islam Di Pulau Djawa, 1411 - 1564::---

A. Sinology
Lihat §-8, betapa besarnja pengaruh dari Orang2 Tionghwa/Muslim/Hanafi didalam perkembangan Agama Islam di Asia Tenggara, di zaman Ming Dynasty (=1368-1645) umumnja, dan di waktu Laksamana Hadji Sam Po Bo (=1405-1425) chususnja. Peranan itu antara lain dapat dipelajari dari buku “Ying Yai Sheng Lan” karangan Hadji Mah Hwang pada tahun 1416, buku “Tsing Tsa Sheng Lan” karangan Hadji Feh Tsing pada tahun 1413, dan sangat banjak lagi buku² serupa itu karangan Hadji² Orang² Tionghwa. Untuk dapat mempeladjari buku² itu seperti Groeneveld pada tahun 1876, tentulah perlu terlebih dahulu dipeladjari Tulisan Tionghwa dan Bahasa Tionghwa, tjabang-pengetahuan jang disebutkan “Sinology”.

Residen Poortman bukan sadja “Batak-Kenner”, akan tetapi dia di waktu PD/I (=1914-1918) ditugaskaan pula autodidactic harus mendjadi Sinoloog. Dialah jang mempersiapkan “Bahagian Pengawasan Aliran² Didalam Masjarakat Tionghwa”, didalam PID/Belanda (Dinas Penjelidik). Supaja mendapat two bird with one stone, maka: Rasident Pootrman mengunakan buku² “Ying Yai Sheng Lan” dan “Tsing Tsa Sheng Lan” berupa buku-batjaan. Di-mana² sadja Poortman ditempatkan, Kapten Tjina harus buang waktu mengadjarkan Tulisan dan Bahasa Tionghwa kepada Resident Poorman.

Para Islamologist Indonesia tidak ada satu pun, jang buang tempo untuk mempeladjari Sinology. Akibatnya antara lain sbb:
Dr. Hamka didalam bukunya “Sedjarah Ummat Islam”, tjuma berdasarkan phonetics menduga bahwa “Tjampa” djang ± 1.400 sudah Islam, adalah “Djeumpa”di Atjeh. Childish, as childish as “Mythos Menang Kerbau”, Tjampa didalam traditions Djawa, adalah Kamboddja. Correct diikuti oleh Hadji Abubakar Atjeh didalam bukunja “Sedjarah Al Quran”. Tanpa childish phonetic ataupun kertoboso speculations, hal mana Orang² Minangkabau paling dojan.

“Tjampa” adalah corrupted name untuk Kambodja, didalam Bahasa Tionghwa/Dialek Swatow. Seperti “Wolanda“ dan “Londo” adalah corrupted names untuk “Holland” didalam Bahasa Djawa. Tjampa dituliskan dengan two Chinese characters, jang didalam Dialect Swatow pronounced “Tjam” dan “Pa”, serta didalam Dialect Yunnan pronounced “Sjan” dan “Pau”. Chinese characters, jang pronoinced: “Sjan Pau Tsa”. Nama terachir itulah jang taken-over oleh Orang² Eropah, mendjadi Kambodja.

Didalam annals Tiongkok/Yuang Dynasty (1280-1367), Resident Poortman menemukan bahwa: Kaisar Tjih Tu (Kublai Khan) didalam tahun kedua pemerintahannja (=1281), menuntjuk Panglima Iki Mese mendjadi Gubernur di Tjampa. Tegas pula disebutkan bahwa: Tjampa terletak antara Sungai Mekong dengan Sungai Tjiaopia, dan dengan demikian mestilah Kambodja. Panglima Iki Mese dengan tentara Tiongkok/Yuang Dinasty membumi-hangus kota pelabuhan Kotinagara, sesuatu kota pelabuhan Hindu jang dengan nama Kattigara sudah termasjhur di zaman Yunani, dan sangat banyak disebut² oleh Ptolomeus. Di pedalaman, Panglima Iki Mese bersieged ibukota Keradjaan Angkor jang ber-Agama Hindu. Karena petjah plague epidemics, maka: Tentara Tiongkok/Yuang Dinasty mundur, akan tetapi: Kota Angkor penduduknja seluruhnja habis didalam epidemics. Di Abad ke-XX ruins Angkor Vat dan Angkor Tom sangat dikagumi berupa semacam “Pompeji Hindu”. Djelas bahwa: Daerah Kambodja sedjak sebelum tarich Masehi, sudah merupakan persinggahan jang maha-penting didalam djalan-laut antara Tiongkok dan India. Seperti Singapore di Abad ke-XX.
Di tahun ketigabelas pemerintahan Kaisar Tjih Tu (=1292) Tentara Tiongkok/Yuang Dynasty dibawah commando Panglima Iki Mese, jang dari Sutjou di Tongkok sailing ke Gelondong di Pulau Djawa, half-way singgah pula di Tjampa dimana Panglima Iki Mese sendiri pernah berkuasa selaku Gubernur. Singgah di Tjampa tentulah tidak mungkin djika Tjampa adalah Djeumpa di Atjeh jang terletak too far out of the way.

Betapa pentingnja Sinology untuk para Islamologists Indonesia lebih djelas lagi kelihatan pada “The Mystery Of Djin Bun” dan pada “The Mystery of Sam Tjai Kong”.


B. Djin Bun mendirikan Kesultanan Demak, 1475-1518
Pada tahun 1928 ditugaskan oleh Pemerintah Kolonial Belanda kepada Resident Poortman supaja menjelidiki: “Apakah benar bahwa Raden Fatah/Sultan Demak Jang Pertama adalah Orang Tionghwa?” Kemungkinan itu ditolak oleh Profesor Schrieke. (Tjatatan; Ditolak pula oleh Dr. Hamka didalam bukunja “Sedjarah Ummat Islam”). Akan tetapi Orang² Tionghwa di Semarang jakin, bahwa: Sultan Demak Jang Pertama adalah seorang Tionghwa jang bernama “Djin Bun”. Orang² Djawa pun mengetahui nama “Pangeran Djinbun” alias Raden Fatah, jang katanja seorang keturunan Radja Modjopahit jang mendjadi Sultan Demak.

Resident Poorman selaku autodidactic Sinoloog mengerti, bahwa: Djin Bun didalam Bahasa Tionghwa/Dialect Yunnan artinya “Orang Kuat”. Resident Poormant the experienced History Detective, jang sudah memetjahkan soal “Mythos Iskandar Zulkarnain Dynasty” mendjadi very clear Kesultanan Kuntu/Kampar, terpaksa fikir² pandjang. Dia memeras otak, dimana mendapatkan sesuatu sumber perihal “Djin Bun The Strong Man”. Didalam annals Tiongkok/ Ming Dynasty, nama Djin Bun sama sekali tidak disebut. Mana ja??

Eureka!! Resident Poormant pergi ke Semarang. Di dalam suasana Pemberontakan Komunis/1928, Resident Poortman di Semarang dengan bantuan Polisi menggeledah of all places: Klenteng Sam Po Kong!! Tulisan² Tionghwa jang disitu disimpan sedjak ± 400 @ 500 tahun, seluruhnja disita oleh Resident Poormant. Tiga tjikar banjaknja!! Itu dia sumber² perihal Djin bun, jang tidak diduga oleh siapa pun. Memang pandai Poormant selaku Detective Sedjarah. Hasilnya sbb.

1368 – 1645 : Di Tiongkok Pemerintah Ming Dynasty, jang sangat banjak menggunakan Officials Orang² Tionghwa/Islam/Hanawi dari Yunnan.

1403 – 1424 : Masa pemerintah Kaisar Tjeng Tsu, jang disebutkan periode Yung Lo. Itulah masa-djaja dari Tiongkok di bidang maritim.

1405 – 1425 : Armada Tiongkok/Ming Dynasty dibawah Laksamana Hadji Sam Po Bo menguasai perairan dan pantai² Nan Jang (=Asia Tenggara).

1407 : Armada Tiongkok/Ming Dynasty merebut Kukang (= Palembang), jang sudah turun temurun mendjadi sarang perampok dari orang² Tionghwa bukan Islam dari Hokkian. Tjen Tsu Ji kepala perampok di Kukang, ditawan, dirantai, dan dibawa ke Peking. Disitu dia mati dipantjung di depan umum. Berupa warning untuk Orang² Tionghwa Hokkian di seluruh Nan Yang. Di Kukang dibentuk Muslim/Hanafi Chinese community jang pertama di Kepulauan Indonesia. Tahun itu djuga, didirikan satu lagi di Sambas/Kalimantan.

1411 – 1416 : Lihat: §-8. Muslim/Hanafi Chinese communities dibentuk pula di Semenandjung Malaya, Di Pulau Djawa, dan di Filippina. Di Pulau Djawa didirikan mesdjid² di Antjol/Djakarta, Sembung/Tjirebon, Lasem, Tuban, Tse Tsun/Gresik, Djiaotung/Djaratan, Tjangki/Modjokerto, dan lain² lagi.

1413 : Armada Tiongkok/Ming Dynasty selama satu bulan singgah di Semarang untuk perbaikan kapal². Laksamana Hadji Sam Po Bo, Hadji Mah Hwang, dan Hadji Feh Tsin, sangat sering datang sembahyang di Mesdjid Tionghwa/Hanafi di Semarang.

1419 : Laksamana Hadji Sam Po Bo Menetapkan Hadji Bong Tak Keng di Tjampa, untuk mengatasi flourishing Muslim/Hanafi Chinese communities jang tersebar di pulau² seluruh Nan Yang. (Tjatatan diulangi oleh Tentara Jepang, jang menempatkan Marshal Terautji di Saigon 1942 – 1945, untuk mengatasi semuanja Djenderal²/Saikosikikan² Djepang diseluruh Nanyo). Hadji Bong Tak Keng menempatkan Hadji Gan Eng Tju di Manila/Filippina, untuk mengatasi Chinese Muslim/Hanafi communities di situ dan di Matan/Filipina.

1423 : Hadji Gan Eng Tju dipindahkan oleh Hadji Bong Tak Keng dari Manila/Filippina ke Tuban/Jawa, untuk mengatasi fluorishing Muslim/Hanafi Chinese communities di Pulau Djawa, Kukang, dan Sambas. Tuban di waktu itu adalah Java’s main port, dengan Keradjaan Modjopahit selaku Hinterland.
Terhadap Pemerintah Tiongkok/Ming Dynasty, Hadji Gan Eng Tju mendjadi sematjam Consul Djenderal mengatasi semuanja Muslim/Hanafi Chinese communities di nan Yang Selatan, termasuk Pulau Djawa, Kukang, dan Sambas. Terhadap still existing but degenerated Keradjaan Modjopahit, Hadji Gan Eng Tju mendjadi sematjam “Kapten Tjina Islam” di Tuban. Akan tetapi, karena armada Tiongkok/Ming Dynasty menguasai seluruh pelajaran di perairan Nan Yang, maka Hadji Gan Eng Tju de-facto mendjadi Kepala Pelabuhan pula di Tuban. Untuk djasa²nja meladeni Kraton Modjopahit dari pelabuhan Tuban, Hadji Gan Eng Tju diberikan gelar “A La Ya” oleh Keradjaan Modjopahit. Diberikan oleh Radja Su King Ta, Radja Modjopahit 1427 – 1447.
Supposition: Hadji Gan Eng Tju aalah Ario Tedjo, dan adalah Ajah dari Nji Ageng Manila jang lahir di Manila/Filippina.

1424 – 1449 : Jang Mulia Hadji Ma Hong Fu ditempatkan mendjadi Duta Besar Tiongkok/Ming Dynasty di Kraton Modjopahit. Hadji Ma Hong Fu adalah Putra dari War Lord Yunnan, dan adalah Menantu dari Hadji Bong Tak Keng. Didalam perjalanan ke Kraton Modjopahit, Keluarga Hadji Ma Hong Fu diantar oleh Hadji Feh Tsin, jang sudah tiga kali pernah berkunjung ke Kraton Modjopahit selaku Roving Ambassador.
Supposition: Putri Tjampa adalah Isteri dari Hadji Ma Hong.

1425 – 1431 : Laksamana Hadji Sam Po Bo mendjadi Gubernur di Nanking, dan de-facto mendjadi Vice Roy Tiongkok Selatan berikut Nan Yang. Di Mesdjid Tionghwa/Hanafi di Semarang diadakan Sembahyang Hadjat, disambung dengan Do’a Selamat untuk Laksamana Hadji Sam Po Bo.
1430 : Laksamana Hadji Sam Po Bo sendiri merebut daerah Tu Ma Pan di Djawa Timur, dan memberikan daerah itu kepada Radja Su King Ta, Gan Eng Wan, Saudara dari Hadji Gan Eng Tju, mendjadi Gebernur Tu Ma Pa, bawahan Keradjaan Modjopahit. Dialah Bupati jang pertama ber-Agama Islam, di Keradjaan Modjopahit.

1431 : Laksamana Hadji Sam Po Bo wafat. Muslim/Hanafi Chinese community di Semarang mendirikan Sembahyang Ghaib.

1436 : Hadji Gan Eng Tju pergi ke Tiongkok, menghadap Kaisar Yang Yu. Tuban jang mengatasi Kubang, Tse Tsun, dan Sambas dilepaskan dari Tjampa, dan mendjadi Chinese Crown Colony jang berdiri langsung dibawah Gubernur Nanking. Kaisar Yang Yu memberikan kepada Hadji Gan Eng Tju, tingkatan dan pakaian Mandarin Besar, lengkap dengan tanda pangkat berupa ikat pinggang emas.

1443 : Swan Liong (=Naga Berlian) Kepala Pabrik Mesiu di Semarang ditempatkan oleh Hadji Gan Eng Tju mendjadi Kepala Tjina Islam di Kukang jang sering diserang oleh badjak² laut Orang² Tionghwa jang bukan Islam. Swan Liong seorang Perwira Artellery jang maha djitu, adalah seorang Peranakan Tionghwa jang di Tjangki/Modjokerto dilahirkan oleh seorang Wanita Tionghwa dayang². Swan Liong katanja sebenarnja adalah Putra dari Yang Wi Si Sa/ Radja Modjopahit.
Tjatatan: Orang² Peranakan Tionghwa jang Ajahnja bukan Tionghwa, biasanja diberikan nama jang terdiri atas tjuma dua syllables. Tanpa hereditary first name, jang untuk Orang² Tionghwa adalah family names. Orang² peranakan Tionghwa jang Ajahnya Tionghwa lengkap diberikan nama jang terdiri atas three syllables.
Supposition: Swan Liong adalah Ario Damar. Yang Wi Si Sa adalah prabu Waisesa/Radja Modjopahit jang satu lagi sebelum terachir.

1445 : Bong Swi Hoo diperbantukan kepada Swan Liong di Kukang untuk on the job training. Bong Swi Hoo adalah seorang Tjutju dari Hadji Bong Tak Keng di Tjampa. Tahun itu djuga, Bong Swi Hoo sudah dipertjajakan oleh Swan Liong, pergi menghadap Hadji Gan Eng Tju supaja somewhere ditempatkan mendjadi Kapten Tjina Islam.

1446 : Bong Swi Hoo singgah di Muslim/Hanafi Chinese communitary di Semarang.

1447: Bong Swi Hoo di Tuban nikah dengan seorang putri dari Hadji Gan Eng Tju.
Supporation: Bong Swi Hoo adalah Raden Rachmat gelar Sunan Ngampel. Isteri dari Bong Swi Hoo adalah Nji Ageng Manila.

1447 – 1451 : Bong Swi Hoo ditempatkan oleh Hadji Gan Eng Tju mendjadi Kapten Tjina Islam di Djiaotung/Bangil, jang terletak di muara Sungai Brantas Kiri (=Kali Porong).

1448 : Bupati Gan Eng Wan (alias Ario Sugondo) mati dibunuh. Daerah Tu Ma Pan lepas dari Keradjaan Modjopahit. Orang² Tionghwa jang ber-Agama Islam/Hanafi, kemudian selama setengah abad banjak mati dibunuh Orang² Tu Ma Pan, jang tetap ber-Agama Hindu/Djawa.

1449 : Jang Mulia Hadji Ma Hong Fu singgah di Semarang, didalam perdjalanan kembali ke Tiongkok. Istri dari Hadji Ma Hong Fu sudah wafat, dan dimakamkan setjara Islam di Modjopahit

1450 – 1475 : Karena Tiongkok/Ming Dynasty sudah merosot, maka: Armada Tiongkok/Ming Dynasty tidak datang² lagi ke Muslim/Hanafi Chinese comminitues di Nan Yang. Muslim/Hanafi Chinese communities itu pun turut degenerated. Sangat banjak Mesdjid² Tionghoa/Hanafi jang berubah mendjadi Klenteng² Sam Po Kong, lengkap dengan patung Demi God Sam Po Kong di tempat mimbar, seperti di Semarang, Ancol, Lasem, dll.
Setelah wafat Laksamana Hadji Sam Po Bo, Hadji Bong Tak Keng, dan Hadji Gan Eng Tju, maka: Bong Swie Hoo terpaksa mengambil initiative mengepalai deterioriating Musling/Hanafi Chinese communities di Pulau Djawa, Kukang, dan Sambas. Tanpa hubungan dengan Tiongkok.
Bong Swie Hoo mengambil initiative pula: To switch-over ke Bahasa Djawa, dan: memperkuat his deterioriating Muslim/Hanafi Chinese communities dengan Orang² Djawa!! Akibatnya menentukan untuk Sedjarah Pulau Djawa.

1451 : Tjampa jang beragama Islam/Hanafi direbut oleh orang² ber-Agama Buddha, penduduk asli dari pedalaman, dari Sing Fun An (=Pnom Penh). Bong Swie Hoo segera bertindak, Ja’ni: Bong Swie Hoo meninggalkan deterioriating Muslim/Hanafi Chinese community di Djiaotung di muara Sungai Brantas Kiri (=Kali Porong). Dengan tjuma sedikit pengikut Orang² Djawa jang baru sadja dia Islamkan. Bong Swie Hoo mendirikan sesuatu Djavanese Muslim communitiy di Ngampel di dekat muara Sungau Brantas Kanan (=Kali Mas).
Supposition: Maulanan Iskak jang bukan Orang Tionghwa, dari semula mendampingi Bong Swie Hoo alias Raden Rachmat gelar Sunan Ngampel, didalam usaha membentuk Javanese Muslim community di Ngampel.

1451 – 1477 : Bong Swie Hoo di Ngampel dengan leadership jang maha besar memimpin pembentukan Javanese Muslim communities di pantai Utara Pulau Djawa, dan di Pulau Madura. Selama dia di Ngampel, Muslim Hanafi Chinese communitied jang masih ada di Tuban, Kukang, dan Sambas, tetap tunduk kepada Bong Swie Hoo. Di Djiaotung, Mesdjid Tionghoa/Hanafi sepeninggal Bong Swie Hoo berobah pula menjadi Klenteng Sam Po Kong.

1455 : Kota Djiaotung hilang/lenjap dilanda bandjir. Tanpa Orang² Tionghwa Muslim/Hanafi muara kali Porong mendjadi sepi pelajaran.
Tjatatan: setengah abad kemudian, Orang² Ternate membangun kembali pelabuhan Djiaotung dengan nama Djoratan.

1456 -1474 : Swan Liong di Kukang membesarkan dua Orang² Peranakan Tionghwa, jang djuga dilahirkan oleh Wanita² Tionghwa dayang², ja’ni: Djin Bun (Orang Kuat) serta Kin San (=Gunung Mas). Djin Bun katanja sebenarnja adalah Putra dari Kung Ta Bu Ni, Radja Modjopahit.
Supposition: Djin Bun adalah Raden Fatah/Sultan Demak Jang Pertama. Kin San adalah Raden Hussin, teman sebaja dari Raden Fatah. Kung Ta Bu Mi adalah Kertabumi/ Radja Modjopahit yang Terachir.

1474 : Didalam perdjalanan pergi menghadap Bong Swie Hoo, Djin Bun serta Kin San singgah di Semarang. Djin Bun jang sangat iman teguh di dalam agama Islam menangis melihat patung Sam Po Kong didalam Mesdjid. Djin Bun mendo’akan bantuan Ilahi supaya dia kelak dapat mendirikan Mesdjid jang baru di Semarang jang sepandjang zaman tetap Mesdjid.

1475 : Atas permintaan dia sendiri, Djin Bun ditempatkan oleh Bong Swie Hoo di Daerah Tidak Bertuan di sebelah Timur Semarang. Selain daripada dekat ke Semarang, tempat itu geopolitic dan ekonomi memang benar dapat mendjadi penting: Kelak dapat menguasai shipping sepandjang pantai Utara Pulau Djawa. Daerah kosong itu sangat subur pula, karena merupakan rawa² di kaki Gunung Murio. Djin Bun menerima tugas dari Bong Swie Hoo, akan membentuk sesuatu Javanese Muslim community, pengganti Chinese Muslim /Hanafi community jang sudah murtad di Semarang.
Kin San diperintahkan oleh Bong Swie Hoo mendjadi Fifth Column di Kraton Modjopahit, dimana sedjak Hadji Ma Hong Fu tidak ada lagi sumber inside information untuk Fihak Tionghwa. Kin San pernah belajar pyrotechniques dari Swan Liong. Dengan mertjon² bikinan dia sendiri, Kin San lewat Tjangki/Modjokerto pergi ke Kraton Modjopahit. Kung Ta Bu Mi bergembira/ria pasang² mertjon². Kin San segera diterima mendjadi Tukang Bikin Mertjon di Kraton Mojopahit.

1475 – 1518 : Selama lebih 40 tahun, Djin Bun dengan tangan besi memerintah di new emerging Keradjaan Islam Demak, sebelah timur dari Semarang.

1477 : Djin Bun merebut kota Semarang dengan Tentara Islam Demak jang hanja sekuat 1.000 orang, akan tetapi bersemangat Perang Djihad, jang tidak gentar Mati Sjahid. Djin Bun mendahului ke Klenteng Sam Po Kong, dan menghindarkan segala gangguan atas Klenteng itu. Djin Bun very wise tidak menyembelih Orang² Tionghwa bekas Islam jang murtad di Semarang. Dia membutuhkan mereka punja technical skill, terutama di bidang shipbuilding. Sebaliknja: Orang² Tionghwa bukan Islam di Semarang, berdjanji akan mendjadi warga negara jang patuh kepada Keradjaan Islam Demak.
Tentara Islam Demak dibawah commando Djin Bun sendiri, membumi hangus sesuatu kampung Islam jang sedjak setengah abad sudah ada di Tjandi, sebelah selatan Semarang.
Atas perintah Bong Swie Hoo, Raden Kung Ta Bu Mi/Radja Modjopahit mengangkat Djin Bun dengan nama Pangeran Djin Bun, mendjadi Bupati daerah Bing To Lo, berkedudukan di Demak. Djin Bun pergi menghadap ke Kraton Modjopahit, dimana dia benar diakui Putra oleh Radja Kung Ta Bu Mi. Walaupun Djin Bun selaku Muslimin hanjalah mau menjembah Tuhan Allah Ta’ala SWA, dan selaku Bupati bawahan Keradjaan Modjopahit tidak pun mau menjembah Ajahnja Radja Modjopahit.
Supposition: ± 1420 – 1477 di Tjandi/Semarang terdjadi sesuatu Muslim comminity Orang² Kodja (= Orang² Persia dan Gudjarat), jang ber-Agama Islam/Mazhab Sji’ah. Memang benar bahwa: Orang² Tionghwa Islam/Hanafi sama sadja seperti Orang² Turki/Islam/Hanafi, sangat fanatic membasmi Agama Islam/Mazhab Sji’ah. Orang² Islam/Mazhab Sji’ah boleh melewati Yunnan, akan tetapi harus memakai kopiah warna merah, dan harus turun dari binatang tunggangannja. Di Semenandjung Malaya pun, Orang² Islam/Mazhab Sji’ah diharuskan oleh Orang² Tionghwa/Islam/Hanafi mesti memakai kopiah merah. Berupa survival, kebiasaan kopiah merah itu hingga ini hari se-dikit² masih ada di sekitar Selat Malaka.

1478 : Bong Swie Hoo wafat di Ngampel, Djin Bun tidak buang waktu pergi ke Ngampel, akan tetapi: Dengan Tentara Islam Demak, Djin Bun pergi merebut pedalaman Pulau Djawa. Sedangkan Bong Swie Hoo seumur-hidupnja tidak pernah mengizinkan penggunaan sendjata, terhadap Orang² Djawa jang masih ber-Agama Hindu. Kembali dari Modjopahit, Djin Bun membawa Kin San ikut serta. Harta/pusaka tanda kebesaran Keradjaan Modjopahit, sebanjak muatan 7 kuda² diangkut ke Demak. Kung Ta Bu Mi ditawan Demak, dan oleh Djin Bun sangat hormat diperlakukan selaku Ajahnja. Modjopahit tidak dibumi hangus, dan karena itu diduduki kembali oleh Orang² Djawa jang bukan Islam.
Atas perintah Djin Bun, di Semarang didirikan Mesdjid jang baru (Di tempat dimana hingga ini hari masih sadja berdiri Mesjid Besar Semarang, di samping Alun² Lama).

1478 – 1529 : Kin San selama setengah abad mendjadi Bupati Semarang. Sangat toleran mendjadi Bapak Rakjat, melindungi segala Bangsa dan segala Agama. Gan Si Tjang seorang Putra jang murtad dari Mendiang Hadji Gan Eng Tju, ditundjuk oleh Kin San mendjadi Kapten Tjina bukan Islam di Semarang.
Kin San serta Gan Si Tjang segera membangun kembali penggergadjian kaju djati dan galangan kapal, jang 3 generasi sebelumnja didirikan olej Laksamana Hadji Sam Po Bo.
Supposition: Galangan kapal peninggalan Laksamana Hadji Sam Po Bo itu, berdiri di tempat S.P.V. (=Semarangs Prauwen Veer) jang 1942 – 1945 dibangun kembali oleh Orang² Djepang mendjadi galangan kapal kaju. Kapal² niaga dan kapal² perang Kesultanan Demak, adalah kapal² djung model Tiongkok/Ming Dynasty, jang dapat memuat 400 orang² prajurit ataupun 100 ton muatan. Dengan backing dari Orang² Tionghwa bukan Islam di Semarang, Kesultanan Demak ± 1.500 sudah mendjadi saingan maritim dari Kesultanan Malaka.

1479 : Seorang Putra dan seorang bekas murid dari Bong Swie Hoo datang me-lihat² di galangan kapal dan di Klenteng Sam Po Kong Semarang. Berdua mereka tidak pandai Bahasa Tionghwa.
Supposition: Sunan Bonang dan Sunan Giri singgah di Semarang, di dalam perdjalanan ke Mekkah atau sepulangnja.

1481 : Atas permintaan tukang² di galangan kapl, Gan Si Tjang memohon kepada Kin San, supaja masjarakat Tionghwa bukan Islam di Semarang boleh suka/rela turut kerdja/bakti menjelesaikan Mesdjid Besar Demak. Dikabulkan oleh Djin Bun.
Sipposition: Wood constuctions dari Masjid Besar Demak dibuat oleh tukang² kaju Orang² Tionghwa, jang sudah selama sepuluh abad sangat ahli turun/temurun membuat kapal² djung. Tiang besar “Soko Tatal” memang benar dibuat menurut conctruction dari sesuatu ships mast di zaman Tiongkok/Ming Dynasty. Ja’ni: In utmost precition dibuat dari kepingan² kaju!! Very flexible dan maha kuat tahan segala angin taifun di lautan.

1488 : Pa Bu Ta La seorang menantu dari Kung Ta Bu Mi mendjadi Bupati Modjopahit jang ber-Agama Hindu, akan tetapi: Membajar Upeti kepada Djin Bun di Demak. Peranan terbalik.

1509 : Yat Sun seorang Putra dari Djin Bun, mendampingi Kin San di galangan kapal Semarang. Production diperlipat/ganda, karena Yat Sun katanja hendak merebut Mao Lak Sa dengan armada Demak.
Supposition: Yat Sun adalah Sultan Junus/ Sultan Demak Jang Kedua. Moa Lok Sa adalah Kesultanan Malacca.

1512 : Yat Sun sangat ter-gesa² menjerang Moa Lok Sa, jang sudah direbut oleh Orang² Biadab Berambut Merah, dan jang mempunjai sendjata² api djarak djauh (= Orang² Portugis).

1513 : Seorang bangsa Ta Tjuh bernama Dja Tik Su, kapalnja rusak dan diperbaiki di galangan kapal Semarang. Dja Tik Su diantar oleh Kin San serta Yat Sun ke Demak, dan dari situ Dja Tik Su tidak kembali lagi. Kapal model Ta Tjih milik Dja Tik Su, ditiru olah Kin San untuk memperbesar velocitas dari kapal² model djung Tiongkok jang benar dan besar akan tetapi very cumbersome.
Supposition: Dja Tik Su adalah Djafar Sadik gelar Sunan Kudus jang 1513 – 1546 sangat besar berdjasa: Retooling Agama Islam di Kesultanan Demak, dari Mazhab Hanafi ke Mazhab Sjafi’i. Gelar Sultan dari Sultan Demak Jang Pertama, bukannja diberikan oleh Sunan Ngampel jang wafat pada tahun 1478, akan tetapi: Pada tahun 1513 diberikan oleh Sunan Kudus, jang sempat mengenal dan menobatkan ke-tiga²nja Sultan² Demak. Bagaimana Laksamana Ismail As Siddik pada tahun 1285 menobatkan Marah Silu mendjadi Sultan Malik Us Saleh. Begitulah Mubaligh Djafar Sadik pada tahun 1546 menobatkan Djin Bun mendjadi Sultan Al-Fattah. Berdua Ismail A Siddik dan Djafar Sadik adalah Ambassador Plenipotentiary dan Kesultanan Mesir/Mamuluk Dynasty dan dari titulary Chalifatullah Abbassiyah Dynasty.

1517 : Atas undangan dari Pa Bu Ta La, Orang² biadab dari Mao Lok Sa datang berdagang dengan Orang² Modjopahit. Djin Bun dengan tentara Demak kedua kalinja menjerang Modjopahit. Tjuma karena Isteri dari Pa Bu Ta La adalah adik jang bungsu dari Djin Bun sendiri, maka: Pa Bu Ta La boleh tetap Bupati di Modjopahit. Akan tetapi, Kota dan Kraton Modjopahit habis dirampas oleh tentara Demak tanpa dilarang oleh Djin Bun.

1518 : Djin Bun wafat didalam usia 63 tahun

1518 – 1521 : Dengan membawa meriam² besar bikinan Kin San serta kapal² model Ta Tjih, Yat Sun sekali lagi menjerang Moa Lok Sa. Yat Sun wafat. Terdjadi hiru/hara succession di Demak. Pa Bu Ta La di Modjopahit masalah gunakan kesempatan, selaku Radja Modjopahit mengadakan hubungan² dengan Moa Lok Sa serta Kaisar Tiongkok.
Supposition: Meriam² besar fortifications artillery milik Demak, seperti meriam keramat “Ki Amuk” di Banten, adalah buatan Orang² Tionghwa bukan Islam di Semarang. Meriam² itu terlalu berat untuk kapal² Arab. Sultan Junus dua kali tergesa²!!

1521 – 1546 : Tung Ka Lo, saudara dari Yat Sun, mendjadi Radja Islam Demak.
Supposition: Tung Ka Lo adalah Sultan Trenggono.

1526 : Kin San jang udah tua karena dia pandai Bahasa Tionghwa: Ikut/serta dengan Armada Demak jang pergi ke Barat untuk menundukkan Orang² Tionghwa /Islam di Sembung.

1527 : Pa Bu Ta La wafat. Panglima Toa A Bo seorang Putra dari Tung Ka Lo, dengan Tentara Demak menduduki Kraton Modjopahit. Putra² dari Pa Bu Ta La tidak sadja mau masuk Islam, dan melarikan diri ke Pasuruan serta ke Panarukan.
Supposition: Panglima Toh A Bo adalah Pangeran Timur, Putra dari Sultan Trenggono jang very mysteriously hilang dari penulisan sedjarah.

1529 : Kin San wafat di dalam usia 74 Tahun. Djenazahnja diantarkan ke Demak. Ikut/serta seluruh penduduk Semarang, Islam dan bukan Islam.

1529 – 1546 : Muk Ming seorang Putra dari Tung Ka Lo, menggantikan Kin San
Supposition: Muk Ming adalah Sunan Prawoto, jang terkenal karena membunuh Pamannja supaja Ajahnja mendjadi Sultan.

1541 – 1546 : Dengan bantuan dari masyarakat Tionghwa bukan Islam di Semarang, Muk Ming menjelesaikan 1.000 kapal² djung besar, jang masing² dapat memuat 400 orang pradjurit². Tung Ka Lo hendak merebut pulau² rempah² di Laut Timur. Orang² Tionghwa bukan Islam di Semarang, siang/malam banting/tulang di galangan kapal.
Tjatatan: Galangan kapal di Semarang di waktu Kesultanan Demak, adalah galangan kapal terbesar jang pernah ada di Asia Tenggara!! Capacitas-nja dapat dihitung dari production Sunan Prawoto. Ja’ni: (1.000 x 100 : 60 =) ± 1.600 ton per bulan. Galangan kapal jang terbesar di Republik Indonesia, masih dibawah pimpinan Belanda hanja satu kali dapat menghasilkan 6 kapal² @ 700 ton didalam djangka waktu lebih dua tahun. Capacitas-nja adalah (6 x 700 : 30 =) ± 140 ton per bulan. Tidak pun sampai sepersepuluh (!!) dari capacitas galangan kapal jang 400 tahun sebelumnja ada di Semarang.
Dari buku “Pengantar Sedjarah dan Adjaran Islam” karangan Drs. Soebandi c.s. dapat dihitung bahwa: Sultan Trenggono 1546 menjerang Pasuruan dengan Armada sebesar totaal (1.700 x 100 =) 170.000 ton. Sedangkan armada-niaga KPM pun tjuma 120.000 ton. Entah berapa totaal tonnage dari Armada Indonesia, Armada Pakistan, armada Filipinna, Armada India, dll., silahkan tjari² sendiri.

1546 : Tung Ka Lo dengan Armada Demak menjerang ke djurusan Timur. Tung Ka Lo wafat. Muk Ming naik tachta di Demak.
Tentara Dji Pang Kang merebut Demak. Dji Pang Kang adalah djuga seorang tjutju Djin Bun. Perang saudara di Demak, terketjuali Mesdjid, seluruh kota dan Kraton Demak Musnah.
Tentara Muk Ming terdesak mundur, dan bertahan di galangan kapal di Semarang. Tentara Dji Pang Kang mengepung. Terketjuali Klenteng dan Mesdjid, seluruh Kota Semarang termasuk galangan habis dibakar oleh Tentara Dji Pang Kang jang sangat biadab. Muk Ming Wafat. Orang² Tionghwa bukan Ialam sangat banjak terbunuh. Dja Tik Su menobatkan Putra dari Muk Ming mendjadi Sultan Demak, dan ikut pula mati dibunuh.
Tentara Dji Pang Kang diserang pula oleh Tentara Peng King Kang. Dji Pang Kang wafat. Peng King Kang mendirikan Keradjaan Islam di pedalaman. Djauh dari laut dan tidak membutuhkan kapal².
Habis riwayat dari Radja² Islam turunan Tionghwa/Yunnan di Demak, jang sedjak Djin Bun memerintah selama 71 tahun, selama tiga keturunan. Tanpa Kin San, tanpa Yat Sun, tanpa Muk Ming, galangan kapal di Semarang tidak dibangun kembali.
Sipposition: Dji Pang Kang adalah Ario Pinangsang, jang ajahnja mati dibunuh oleh Sunan Prawoto. Peng King Kang adalah Djokotingkir Adiwidjojo, Putra dari Ki Ageng Kebo Kenongo, jang dihulum mati oleh Sultan Trenggono. “Kang” di dalam bahasa Tionghwa/Dialect Yunnan artinya “ Gubernur”.
Tjatatan: Karena tidak menggunakan Orang² Tionghwa bukan Islam di Semarang, untuk membangun kembali galangan kapal peninggalan Laksamana Hadji Sam Po Bo, maka: Kesultanan Padjang dan Kesultanan Mataram mendjadi land-locked, dan tidak maritim. Peranan maritim jang berturut² dipegang oleh Kesultanan²: Daya/Pasai. Samudera/Pasai, Malacca, dan Demak mendjadi terpetjah/belah antara Kesultanan²: Atjeh, Djohor, Banten, Berunai, Ternate, Tidore, Batjan, Sulu/Filippina, dan entah sangat banjak lagi. Sedjak tahun 1619, djatuh pula kedalam tangan Fihak Belanda.

Retrospect
Hatsil/karja dari Resident Poortman jang begitu gilang gemilang, atas permintaan dia sendiri: Tetap dirahasiakan oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Tersimpan didalam sesuatu “GZG/monogram, Uitsluitent Voor Dienstgebruik Ten Kantore” (= RSR, hanja untuk dinas, tidak boleh dibawa ke rumah). Resident Poortman selaku Pengawas PID (= Polisi Rahasia) berpendapat bahwa: Tidak boleh sedikit pun bertambah rumor-in-casa di Pulau Djawa, didalam suasana Pemberontakan Komunis 1928 – 1930. Tidak boleh pula sedikit pun dibikin gontjang kedudukan dari “Zelfbestuurders” (Swapradja) di Pulau Djawa. Tidak boleh pula Orang² Tionghwa mendjadi besar kepala. Apakah Profesor Schrieke tetap tinggal salah wessel, Resident Poortman tidak ambil pusing Profesor².
Angka² Tahunan sanagt mudah reconstructed oleh Resident Poortman, karena: Annal Klenteng Sam Po Kong Semarang memakai Tarich Klenteng itu sendiri. Tarich Yung Lo dan Tarich Hijrah. Klenteng itu didirikan pada tahun 9 Tarich Yung Lo, katanja tahun 814 Tarich Hidjrah, 814/H = 1411/M.
Beberapa angka² Tahunan jang didapat oleh Resident Poortman tidak sesuai dengan Angka² Tahunan jang sudah terlebih dahulu diketahui. Enak sadja disesuaikan oleh Resident Poortman, jang tidak pernah buang waktu “membelah rambut”. Umpamanja: Djin Bun merebut pedalaman Pulau Djawa, terdjadi pada tahun 69 Tarich Klenteng Sam Po Kong Semarang, sama dengan 1479/M. Oleh Resident Poortman dianggap omission, dan corrected mendjadi 1478/M jang sudah tradisional dari Tarich Aji Saka: “Sirna Hilang Kertaning Bumi” = 1400/ AS.
Resident Poportman sangat mudjur pula, mendapat kiriman dari seorang Kapten Tjina di Djambi. Kiriman ini adalah copy dari buku “Moa Tsai Pi Tjing Weng” = “Uraian Perihal Keradjaan Modjopahit. Report dari Ma Yung Long, seorang Saudara dari Hadji Ma Hong Fu jang selaku kurir sering mundar/mandir antara Kraton Modjopahit dan Tiongkok, di waktu Hadji Ma Hong Fu masih Duta Besar Tiongkok/Ming Dynasty di Kraton Modjopahit, 1424 – 1449. Terutama perihal Radja Su King Ta. Radja Modjopahit 1427 -1447, jang berkali² sangat berat harus membayar upeti kepada Tiongkok.
Resident Poortman sendiri jakin, bahwa: Ario Damar, Sultan Raden Fatah, dan Raden Hussin, adalah 50/50 peranakan Tionghwa/Modjopahit. Dari fihak Tionghwa mereka mewarisi dedication, seumur/hidup suka banting/tulang bekerdja terus siang/malam. Dari pihak Radja² Modjopahit mereka mewarisi leadership and dignity. Entah pun hal itu setjara intuitive dimengerti oleh Bong Swie Hoo alias Raden Rachmat gelar Sunan Ngampel, Putranja Sunan Bonang, jang dilahirkan oleh Nji Ageng Manila, dan adalah 100% sepenuhnja Tionghwa, tidak pernah ditonjol²kannja mendjadi Sultan di Pulau Djawa, Bravo Bong Swie Hoo!

C. Sam Tjai Kong Di Kesultanan Tjirebon, 1552 – 1585

Resident Poortman fikir² lagi. Dia tidak pernah bertindak separoh² sedjak dia pada tahun 1905 sendiri² mengatasi situasi di Tanah Karo/Gunung, dimana Tjalon² Radja² Sibayak sedang asjik tembak-menembak dengan bedil² pemburu. Dia sangat chawatir, entah seorang Belanda Sinoloog jang lain, meniru dia menggeledah sesuatu Klenteng bekas Mesdjid pula.

Resident Poorman dengan bantuan Polisi, setjepat kilat menggeledah Klenteng Sam Po Kong Antjol/Djakarta. Hasilnya: nihil!! Klenteng Ancol berikut kampung Petjinan Laut di sekelilingnja, pada tahun 1712 pernah dibumi-hangus atas perintah Gubernur Djendral Valcknenier. Pada tahun 1785 klenteng itu dibangun kembali, akan tetapi sedikit dipindahkan. Ja’ni: Kuburan² Islam yang semula di luar Mesdjid mendjadi didalam Klenteng. Dari annal Klenteng Sam Po Kong Semarang, Resident Poortman mengetahui bahwa: Pada tahun 1419 Laksamana Hadji King Wu Ping dimakamkan di samping Mesdjid Antjol/Djakarta.

Tjatatan: di dalam suasana Republik Indonesia, Klenteng jang bekas Mesdjid di Antjol itu, dibiar²kan sadja hilang kedalam lumpur jang dipompakan dari laut. Entah karena itu, generasi jang 1950 – 1970 berkuasa di Indonesia, kelak akan dianggap generasi tolol. Sorry!!

Resident Poortman terpaksa putar haluan. What about Mesdjid Sembung/Tjirebon, jang sangat banjak di-sebut² didalam annals Klenteng Sam Po Kong Semarang?? Resident Poortman se-olah² electrified, mendengar dari dia punja PID bahwa: Di Tjirebon ada kepertjajaan di kalangan penduduk Tionghwa akan Demi God “Sam Tjai Kong”. Entah Sam Tjai Kong itu juga seorang Hadji di zaman Tiongkok/Ming Dynasty, seperti Laksamana Hadji Sam Po Bo?? Sedangkan di dalam annals Klenteng Sam Po Kong Semarang, nama dari seorang Laksmana Hadji Sam Tjai tidak turut disebut. Lagi pula: “Tjai” bukannja Dialect Yunnan, akan tetapi Dialect Hokkian.

Resident Poortman pergi ke Tjirebon. Sembung jang sangat banjak di-sebut² didalam annals Klenteng Sam Po Kong Semarang, sedah mendjadi pekuburan Islam tanpa Klenteng. Apa jang mau digeledah?? Dengan menggunakan his PID, Resident Poortman mendapat inside information dari pihak Kraton Kasepuhan Tjirebon, bahwa: Didalam Folklore Tjirebon sangat banjak di-sebut² Sembung, Sarindil, dan Talang, selaku bekas tempat pertapaan Orang² Asing jang Islam, sebelum Sunan Gunung Djati mendirikan Kesultanan Tjirebon.

Fihak Pengreh Prodjo tidak pun mengetahui, sesuatu kelurahan maupun kampung kecil, jang bernama Sarindil. Djawatan Kehutanan menulung. Sarandil adalah suatu complex hutan djati. Resident Poortman pergi ke Sarindil. Sangat banjak kidang, No Klenteng, No Mesdjid, No nothing.

Talang adalah nama dari suatu bekas kampung Tionghwa, jang permulaan Abad Ke-XX hampir seluruhnja habis terbakar. Ketinggalan sesuatu Klenteng, jang katanja dilindungi oleh Sam Tjai Kong. Itu dia!! Talang sudah mendjadi pabrik rokok milik British American. Di samping pabrik rokok itu, benar ada an old and forgotten Klenteng. Orang² Inggris tidak pernah mengganggu sesuatu Rumah Ibadat, entah pun dari Bangsa apa Agama apa. Sebaliknja: Karena pada British American banjak orang Tionghwa, maka hingga malaise/1930 pimpinan pabrik rokok itu setiap tahun memberikan setjukupnja wang dari fonds sosial untuk maintenance Klenteng. Resident Poortman bukan Orang Inggris. Dia “Hoofd Ambtenaar Belanda Kolonial”, jang menguasai PID. Resident Poortman dengan bantuan polisi, menggeledah Klenteng di Talang. Hasilnja sbb:

1415 : Laksmana Hadji Kung Wu Ping, keturunan dari Kung Hu Tju (=Confusius), mendirikan menara mertju suar (= lighthouse) di atas bukit Gunung Djati. Dekat² kesitu dibentuk pula Muslim/Hanafi Chinese communities, di Sembung, Sarindil, dan Talang. Masing² lengkap dengan Mesdjid. Kampung Sarindil ditugaskan delivery of teak, untuk perbaikan kapal². Kampung Talang ditugaskan meintenance pelabuhan. Kampung Sembung ditugaskan maintenance lighthouse. Ketiga kampung² Tionghwa Islam/Hanafi itu, ditugaskan pula harus supply bahan² makanan untuk kapal² Tionghwa/Ming Dynasty. Di waktu itu, daerah Tjirebon masih kosong penduduk, akan tetapi: sangat subur karena terletak di kaki gunung Tjeremai.

1450 – 1475 : Sama sadja seperti di pantai Utara Djawa Timur dan Djawa Tengah, di daerah Tjirebon pun Muslim/Hanafi Chinese communities sudah sangat merosot, karena putus hubungan dengan main-land Tiongkok. Mesdjid di Sarindil sudah mendjadi pertapaan, karena: Masjarakat Tionghwa/Islam/Hanafi disitu sudah tidak ada lagi. Mesdjid di Talang sudah mendjadi Klenteng. Sebaliknja – Masjarakat Tionghwa/Islam/Hanafi di Sembung sangat berkembang/biak, dan sangat ber-Iman teguh didalam agama Islam.
Supposition: Di waktu itu perkembangan di Sembung sama seperti di Bagansiapiapi, Petani, dan Sambas. Ja’ni: In splendid isolation Masjarakat Tionghwa tetap ber-Agama Islam Hanafi, dan tetap menggunakan Bahasa Tionghwa untuk mengerdjakan Fardhu.

1526 : Armada serta Tentara Islam dan Demak, singgah di pelabuhan Talang. Ikut serta seorang Tionghwa Peranakan jang Islam dan pandai Bahasa Tionghwa, bernama Kin San. Panglima Tentara Demak (= Syarif Hidayat Fatahillah) serta Kin San, dari Talang pergi ke Sarindil dimana Hadji Tan Eng Hoat, Imam Sembung, sedang bertapa. Bersama Hadji Tan Eng Hoat, Tentara Islam Demak setjara damai masuk di Sembung. Atas nama Radja Islam di Demak, Panglima Tentara Demak memberikan gelar kepada Hadji Tan Eng Hoat/Imam Sembung. Bunjinja: “Mu La Na Fu Di Li Ha Na Fi”. Tentara Demak kembali ke kapal², dan berlajar ke Barat. Kin San satu bulan mertamu pada Hadji Tan Eng Hoat.
Supposition: Sultan Trenggono memberikan gelar “Maulana Ifdil Hanafi” kepada Hadji Tan Eng Hoat. Dengan demikian Djafar Sadik gelar Sunan Kudus mengizinkan Hadji Tan Eng Hoat c.s. di daerah Tjirebon, tetap ber-Agama Islam/Mazhab Hanafi dengan terus menggunakan Bahasa Tionghwa di dalam Fardhu. Tidal dipaksakan harus switch ke Agama Islam/Mazhab Syafi’i, dimana Fardhu harus didalam Bahasa Arab. Pandai Sunan Kudus!!

1552 : Panglima tentara Demak setelah seperempat abad, datang lagi di Sembung. Sendiri² tanpa Tentara. Hadji Tan Eng Hoat sangat heran². Panglima Tentara Demak katanja sudah bekas Radja Islam di Banten. Dia sangat ketjewa, mendengar pembunuhan² di kalangan para keturunan Djin Bun di Demak. Dia tidak pula mau tunduk kepada Sultan Padjang, karena di Kesultanan Padjang: Agama Islam/Mazhab Syi’ah sangat berpengaruh. Bekas Panglima Tentara Demak katanja seterusnja seumur hidup hendak bertapa di Sarindil.
Hadji Tan Eng Hoat mentjeriterakan bahwa: Masjarakat Tionghwa/Islam di Sembung pun sudah sedjak 4 generasi, putus hubungan dengan Yunnan jang Islam. Sebaliknja: Orang² Tionghwa keturunan Hokkian jang bukan Islam, sudah sangat kuat di daerah Tjirebon. Hadji Tan Eng Hoat sendiri, adalah keturunan Orang² Hokkian jang tjuma sangat sedikit mau masuk Islam.
Hadji Tan Eng Hoat meminta kepada Bekas Penglima Demak supaja membimbing masjarakat Islam/Tionghwa di Sembung mendirikan sesuatu Kesultanan seperti Djin Bun dahulu di Demak. Tidak ada djalan lain, untuk mendjamin bahwa masjarakat Tionghwa di Sembung tetap tinggal Islam! Walaupun Bahasa Tionghwa dan Mazhab Hanafi terpaksa dilepaskan sepertidi Demak.
Walaupun dia sudah tua, akan tetapi: Bekas Panglima Tentara Demak; O/K.

1552 – 1570 : Dengan backing dari masjarakat Tionghwa/Islam di Sembung, Bekas Panglima Tentara Demak mendirikan Kesultanan Tjirebon, berpusat di tempat Kraton Kasepuhan jang sekarang. Sembung ditinggalkan, dan mendjadi pekuburan Islam. Penduduk Sembung bojong sadesa, dan dengan nama² Islam serta nama² Indonesia asli, settled di new emerging kota Tjirebon. Sultan Tjirebon Jang Pertama tentulah Bekas Panglima Tentara Demak sendiri. Dia segera membentuk Tentara Islam, dari bekas penduduk Sembung. Orang² Tionghwa jang bukan Islam terpaksa tunduk kepada Tentara Tionghwa Islam Tjirebon bentukan baru itu.

1553 : Supaja ada Fist Lady di new emerging Kesultanan Tjirebon, maka Sultan Tjirebon Jang Pertama (jang sudah landjut usianja) nikah dengan seorang Putri Hadji Tan Eng Hoat alias Maulana Ifdil Hanafi. Dari Sembung ke Kraton Tjirebon, “Putri Tjina” itu diberangkatkan dengan Upatjara Kebesaran. Se-olah² dari Istana Kaisar² Tiongkok/Ming Dynasty di zaman Laksamana Hadji Sam Po Bo. Dikawal oleh her young cousin, Tan Sam Tjai. Itu dia!! Sam Tjai/the Wanted Person di dalam penjelidikan Resident Poortman.
Tjatatan: didalam hal make-believe memberangkatkan seorang Pengantin Wanita, Orang² Batak djauh lebih parah lagi daripada siapa pun di Indonesia. Dari rumah ke rumah di Menteng Pulo, katanja dari sesuatu Keradjaan di Mandailing ke sesuatu Keradjaan di Sipirok. Horas/horas/horas. Semua orang very happy, menunggukan Rendang Daging Kerbau jang djauh lebih enak daripada Rendang Daging Sapi.

1553 – 1564 : Hadji Tan Eng Hoat alias Maulana Ifdil Hanafi dengan gelar Pengeran Adipati Wirasendjaja, mendjadi Vice-Roy bawahan Kesultanan Tjirebon, de-jure berkuasa sampai ke Samudera India, de-facto berkedudukan nearby di Kadipaten. Dari situ dia sangat besar berdjasa mengembangkan Agama Islam/Mazhab Syafi’i didalam Bahasa Sunda di pedalaman Priangan Timur, sampai ke Garut.

1564 : Hadji Tan Eng Hoat wafat didalam military expedition merebut Keradjaan Galuh jang ber-Agama Hindu. Djenazah dari Hadji Tan Eng Hoat dikuburkan di daerah Galuh, diatas sesuatu pulau, didalam sesuatu danau.
Tjatatan: nama dari danau itu tidak disebutkan di dalam annals Klenteng Talang. Oleh Resident Poortman diduga salah/satu danau² ketjil, jang jumlahnja sangat banjak di daerah Garut dan Tjiamis. Tidak sempat diselidiki oleh Resident Poortman, karena: Dia sedang kalah bertengkar dengan Resident Gobee perihal Putra² dari Singamangaradja XII, Pahlawan Nasional Indonesia.
1569 – 1585 : Tan Sam Tjai jang tidak pernah suka memakai nama Muhammad Sjafi’i, dengan gelar Tumenggung Aria Dipa Wiratjula mendjadi Menteri Keuangan Kesultanan Tjirebon. Tan Sam Tjai murtad!! Dia sangat setia mengundjungi Klenteng Talang membakar hiu. Walaupun demikian Tan Sam Tjai sangat besar berdjasa financially memperkuat Kesultanan Tjirebon, sehingga di tetap maintained. Lagi pula: Tan Sam Tjai seperti Sultan Turki mendirikan harem, tempat simpanan ratusan Gula² Kaki Dua, ja’ni: Istana Sunjaragi.

1570 : Sultan Tjirebon jang pertama wafat, dan digantikan oleh putranja jang dilahirkan oleh putri Tjina. Karena Sultan Tjirebon jang kedua masih muda/remadja, maka: Tan Sam Tjai de-facto menguasai Kesultanan Tjirebon. Jang berani menentang powerful Tan Sam Tjai, hanjalah Hadji Kung Sem Pak alias Muhammad Murddjani. Ja’ni seorang keturunan dari Laksamana Hadji Kung Wu Ping, jang mendjadi pakuntjen (=Pendjaga Kuburan Sultan) bertempat tinggal di Sembung.

1585 : Tan Sam Tjai wafat, termakan ratjun di harem Sunjaragi. Djenazahnja ditolak oleh Kung Sem Pak dari pekuburan Pembesar² Kesultanan Tjirebon di Sembung. Didalam hudjan lebat, terpaksa kembali ke Tjirebon!! Atas perintah Isterinja (= Nurleila binti Abdullah Bazir Loa Sek Tjong), maka djenazah dari Tan Sam Tjai setjara Islam dimakamkan di pekarangan rumahnja sendiri.
Walaupun dia dikubutkan setjara Islam, akan tetapi atas permintaan penduduk Tionghwa jang bukan Islam, di Klenteng Talang diadakan pula Upatjara Naik Arwah untuk mendiang Tan Sam Tjai. Namanja dituliskan dengan Tulisan Tionghwa atas kertas merah, supaja disimpan di Klenteng Talang untuk se-lama²nja. Tan Sam Tjai mendjadi Demi God dengan nama Sam Tjai Kong. Mendjadi Saint jang mengabulkan do’a, djika dia tjukup dipudja dengan bakar² hiu.
Sonny boy, Kertas merah itu pada tahun 1938 diberikan oleh Resident Poortman di Voorburg/Holland kepada Daddy untuk diantarkan ke Ethnologisch Museum di Leiden. Entah pun kini masih ada di situ.

Retrospect
Syarif Hidayat Fatahillah (= Sunan Gunung Djati) selaku Sultan Banten Emeretus, di hari tuanja masih mau buang tenaga mendirikan Kesultanan Tjirebon. Dengan demikian, Sunan Gunung Djati bukan sadja menjelamatkan masjarakat Tionghwa/Islam/Hanafi di daerah Tjirebon, akan tetapi: Menjelamatkan pula penduduk asli Priangan Timur, lepas dari kemungkinan di-Kristen-kan oleh Fihak Portugis.
Marah Silu Dynasty jang timbul di Tanah Batak/Gajo, dan 1285 – 1409 memerintah di Kesultanan Samudera/Pasai, oleh Sunan Gunung Djati dilanjutkan pula di Kesultanan Banten dan di Kesultanan Tjirebon. Sifat kepala batu dari Orang² Batak digunakan oleh Tuhan Jang Maha Kuasa untuk mengebangkan Agama Allah. Syukur Alhamdulillah, Allahu Akbar.
Resident Poortman kalah didalam pertengkaran contra Resident Gobee. Putra² dari Singamangaradja/XII, Pahlawan Nasional Indonesia, kembali ke Tanah Batak. Resident Poortman kembali ke Negeri Belanda, Luput Klenteng² bekas² Mesdjid dari penggeledahan: seperti Klenteng² di Tuban, Lasem, Gresik, Modjokerto, dan entah lain² lagi. Memang mesti ada batas². Walaupun hasilnja gilang/gemilang untuk penjelidikan sedjarah setjara exact berikut Angka² Tahunan, akan tetapi: Penggelegahan Klenteng tentulah tetap Pekerdjaan Biadab!!
Walaupun dia Resident Kolonial Belanda, akan tetapi Orang² Inggris di Tjirebon menolak Resident Poortman minum whisky bersama mereka. Manusia jang oleh mereka dianggap “Orang Biadab Jang Menggeledah Rumah Ibadat”. Benar pendirian Orang² Inggris itu!! Haraplah ahli² Sedjarah Indonesia tidak akan pernah dengan kekerasan menggeledah Rumah² Ibadat, entah dari Agama apa pun, Banga apa pun.

Tambahan
Kini Orang² Tionghwa jang ada di Pulai Djawa, adalah 99,9% keturunan Hokkian. Kelihatan dari their family names seperti: “Tan”, “Lim”, “Oei”, “Ong”, “Tjia”, dlsb.
Sebelum tahun 1500 chususnja, dan di waktu Kesultanan Demak umumnja, Orang² Tionghwa jang ada di Pulau Djawa semuanja keturunan Yunnan dan Swatow, “Ma” dan “Bong” adalah family names Tionghwa dari Yunnan. “Gan” adalah family name dri Swatow.
Orang Tionghwa/Hokkian jang pertama diketahui di Pulau Djawa, adalah Hadji Tan Eng Hoat di Tjirebon. Dialah the mising link antara orang² Tionghwa Yunnan Islam dan orang² Tionghwa Hokkian bukan Islam di Pulau Djawa.


(Dikutip dari buku Tuanku Rao karya M.O. Parlindungan, Lampiran XXXI, Tahun 1969, Penerbit Tandjung Pengharapan).

Tulisan ini juga dimuat ulang pada buku Laksamana Cheng Ho dan Asia Tenggara, Lampiran, Hal: 131-157, Editor: Leo Suryadinata, Tahun 2007, Penerbit LP3ES Indonesia.