Cerita Sejarah Laksamana Cheng Ho bagi masyarakat pesisir Jawa khususnya warga
Semarang Jawa Tengah, seolah tidak ada habisnya, terlebih dengan digelarnya
berebagai kegiatan akbar yang telah diselenggarakan menyambut kedatangan 600
tahun sosok pria kelahiran Kunyang Cina tahun 1371 ini.
Nafas kenangan akan hadirnya Cheng Ho, sampai saat ini masih
dapat dirasakan di sebuah kelenteng yang terletak di kawasan Simongan, Semarang
Barat, yang selanjutnya dikenal dengan nama Kelenteng Sam Poo Kong atau
Kelenteng Gedhong Batu. Bangunan tua seluas 1.020 meter persegi ini telah
selesai dipugar, dan telah diresmikan. Dari berbagai bangunan yang ada, ada
sebuah kelenteng yang ukurannya paling besar di antara tempat sembahyang
lainnya.
Ada yang menarik di klenteng induk Sam Poo Kong, yaitu beduk
warna merah. Beduk itu semakin menegaskan bahwa Laksamana Cheng Ho juga
dipercaya sebagai seorang Muslim.
Banyak sumber sejarah menyebutkan bahwa Laksamana Cheng Ho
adalah seorang muslim yang taat. Anak Haji Ma Ha Zhi ini diyakini sebagai
pelopor menyebarkan agama Islam di daratan Jawa, khususnya di Pantai Utara Jawa
yang membentang dari Jakarta, Cirebon, Semarang, Lasem, Tuban hingga Surabaya.
Keluarga Cheng Ho sendiri juga merupakan keturunan Huihui(suku
Hui), yang sebagian besar beragama Islam. Hal itu juga semakin meyakinkan
dengan nama kecil yang diberikan padanya, yakni Ma He. Sebutan Ma He ini juga
konon jaman dahulu dijadikan untuk sebutan “Muhammad”, karena dalam penilisan
China ditulis dengan Ma He.
Yang juga cukup menarik perhatian yakni pada bagian bawah
kelenteng induk terdapat bawah tanah yang berujung pada sebuah gua. Tempat ini
dipercaya sebagai tempat persembunyian & sembahyang(sholat) Sam Po Tay Jin
yang tidak lain adalah Laksamana Cheng Ho.
Di dalam gua tersebut, juga tedapat sumur yang oleh sebagian
umat, airnya dianggap sebagai air suci. Banyak masyarakat yang menginginkan air
tersebut. Hanya saja karena tempatnya sangat sempit, maka sumur yang
berdiameter sekira satu meter itu ditutup. Airnya dialihkan ke bagian atas,
dekat dengan tempat sembahyang. Hal itu dimaksudkan untuk memudahkan pembagian
air.
Selain itu juga tempatnya lebih luas. Kelenteng yang
didominasi warna merah itu, sangat megah, terlebih dengan banyaknya kepulan
asap dupa dan bau hio di berbagai sudut, menandakan banyaknya umat Islam, Budha, Konghucu maupun Tao yang berdoa di tempat itu.
Bangunan berarsitektur Cina ini, belakangan juga menjadi tujuan bagi wisatawan
minat khusus keagamaan.
Dari berbagai fasilitas yang tersedia, ada bangunan baru
berupa relief perjalanan Laksamana Cheng Ho. Selain itu juga pada bagian depan
juga berdiri gagah patung atau arca Ma He nama kecil Cheng Ho yang dengan gagah
menyandang pedang di pinggangya.
Patung ini khusus didatangkan dari Tiongkok. Sementara itu
relief berukuran panjang 60 meter dan tinggi delapan meter yang terbuat dari
semen, berada persis de sebelah kelenteng induk dan dekat tempat sembahyang
utama. Relief ini dikerjakan oleh sekira 40 pengukir yng didatangkan dari Ubud,
Bali. Relief raksasa ini terdiri dari 10 diorama yang saling menyatu.
Pertama mengenai ekspedisi Laksamana Cheng Ho ke Samudera Barat. Diceritakan Laksamana Cheng Ho atau Zheng He atau Sam Po Tay Djien dan Wang Jing Hong (Ong King Hong) berdiri di menara pengintai di atas geladak dek kapal. Keduanya memandang ke kejauhan dan memikirkan misi berat yang diembannya. Sementara itu ratusan kapal telah siap siaga untuk berlayar.
Pertama mengenai ekspedisi Laksamana Cheng Ho ke Samudera Barat. Diceritakan Laksamana Cheng Ho atau Zheng He atau Sam Po Tay Djien dan Wang Jing Hong (Ong King Hong) berdiri di menara pengintai di atas geladak dek kapal. Keduanya memandang ke kejauhan dan memikirkan misi berat yang diembannya. Sementara itu ratusan kapal telah siap siaga untuk berlayar.
Bedasarkan The History of Far East, pada tahun 1405, sekitar
bulan Juli dan Agustus, armada berangkat dari Liu Jia Gang, Provinsi Jiang Su,
dan untuk kali pertama siap untuk berlayar. Pada bagian kedua mengisahkan
penduduk lokal yang dipimpin oleh etnis Malaka (kini disebut Malaysia)
Bailimisuci menyambut kedatangan armada Zheng He di pelabuhan . Bendera
kebesaran Zheng terlihat berkibar gagah diatas kapal yang kokoh.
Malaka merupakan salah satu tempat persinggahan yang sangat
penting dalam perjalanan Zheng He. Kedatangan rombongan armada Zheng He ke
Malaka di tahun 1409 merupakan momen bersejarah. Sepanjang tahun 1409, Zheng He
juga melakukan beberapa kali perjalanan ke Malaka (Malaysia) dan Siam
(Thailand).
Pemerintah Malaka sangat berterima kasih, dan atas bantuan
Zheng He dalam mengatasi konflik di antara kedua negara. Sebagai ucapan terima
kasih, pemerintah lokal membantu Zheng He membangun gudang di Malaka.
Pada bagian lain menunjukkan kebesaran Cheng Ho menumpas bajak laut Chen Zhu Yi/In Tjo Wie. Menurut sumber The Documentary Records of The Ming Dynasty, Bab 71 dalam perjalanan menuju Old Harbour (sekarang dikenal sebagai Ba Lin Bang/Palembang di Sumatra Selatan. Zheng He mengetahui kejahatan yang dilakukan bajak laut Chen Zhu Yi, seperti merampok dan membakar rumah-rumah penduduk. Dalam peristiwa itu sekira 5000 bajak laut berhasil dibunuh dan 10 kapal dimusnahkan. Selain itu juga menangkap dan menahan 7 kapal laut dan 2 mesin untuk memalsukan uang. Akhirnya Chen Zhu Yi dapat dikalahkan.
Pada bagian lain menunjukkan kebesaran Cheng Ho menumpas bajak laut Chen Zhu Yi/In Tjo Wie. Menurut sumber The Documentary Records of The Ming Dynasty, Bab 71 dalam perjalanan menuju Old Harbour (sekarang dikenal sebagai Ba Lin Bang/Palembang di Sumatra Selatan. Zheng He mengetahui kejahatan yang dilakukan bajak laut Chen Zhu Yi, seperti merampok dan membakar rumah-rumah penduduk. Dalam peristiwa itu sekira 5000 bajak laut berhasil dibunuh dan 10 kapal dimusnahkan. Selain itu juga menangkap dan menahan 7 kapal laut dan 2 mesin untuk memalsukan uang. Akhirnya Chen Zhu Yi dapat dikalahkan.
Relief lainnya menggambarkan Raja Barat Jawa (Wikrama Wardhana)
melawan Raja Timur Jawa (Wirabumi). Raja Timur kalah dalam peperangan tersebut.
Sekira 170 orang Zheng He terbunuh oleh pasukan Raja Barat. Pada saat Zheng He
melewati daerah Raja Timur dia mengetahui bahwa ada kesalahan dalam peperangn
itu, Zheng He menjelaskan kepada Kaisar Chen Zu. Akhirnya Raja Barat
diperintahkan untuk meminta maaf dan memebayar denda sebesar 60.000 tail.
Karena terlalu besar dan melebihi kemampuan kerajaan, akhirnya denda ditetapkan
hanya 10.000 tail.
Berikutnya menggambar penumpasan pemberotakan Su Gan
La/Iskandar pada tahun ke-13 pemerintahan Yong Lie (1415). Ketika rombongan
Zheng He tiba di Sumendala/Samudera Pasai/Aceh, Sumatra, beliau melihat adanya
pertempuran Batak. Putra Mahkota Zainul Abidin yang saat itu masih kecil tidak
dapat membalaskan dendam ayahnya dan menduduki tahta kerajaan. Sang permaisuri
mengumumkan siapapun yang dapat membalaskan dendam sang raja akan meduduki
tahta kerajaan dan mempersunting dirinya.
Seorang nelayan berhasil membunuh Raja Nakur dan menjadi raja.
Saat putra mahkota beranjak dewasa, dia membunuh ayah tirinya dan mengambil
alih tahta kerajaan. Putra sang nelayan, Sua Gan La/Iskandar tidak dapat
menerima perlakuan terhadap ayahnya dan berencana membalas dendam. Saat Zheng
He melewaati daerah tersebut, pertempuran baru saja dimulai. Su Gan La/Iskandar
dikalahkan oleh putra mahkota dan rombongan Zheng He. Walaupun Su Gan La
berusaha untuk melarikan diri, akhirnya dia tertangkap dan ditahan di daerah
selatan Nan Bo Li/Lambri. Dengan bantuan Zheng He, pemerintahan Sumendala/
Samudera Pasai/Aceh, Sumatra dapat menumapas pemberontakan dan mempertahankan
negaranya.
Selanjutnya relief yang menggambarkan misi dagang Zheng
He, dan persahabatan antara Cina dan Malaysia. Dan terakhir tugas Laksamana
Cheng Ho mengembalikan duta besar Cina yang hilang di Indonesia. Dari semua
cerita itu pada gilirannya menunjukkan adanya hubungan erat antara Indonesia
dengan Cina sejak 600 tahun lalu.
referensi: berbagai sumber
referensi: berbagai sumber